Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

08 Desember 2009

MENCARI BENIH BELUT


Saat pertamakali membeli bibit, hanya 2 kilo, saya mendapat benih campur aduk. Bayangan semula bakal mendapat bibit berkualitas langsung buyar begitu saya melihat ukuran benih yang tidak sama. Lebih hopeless lagi ketika kemudian saya mendapati beberapa anakan sudah loyo duluan sebelum dipindah ke jerigen angkut.

- Adanya cuma begitu, jadi beli apa tidak?

Saya segera sadar sudah keliru memilih tempat membeli benih. Kali berikutnya, setelah mendapat cukup informasi, saya membeli di tempat yang “kata orang” punya benih bagus. Walaupun tidak separah di tempat pertama, kondisi anakan di tempat kedua ini tetap tidak bisa dibilang bagus. Ukurannya tetap tidak seragam. Itu saja sudah membawa pengaruh cukup signifikan terhadap proses selanjutnya.

Kalau mencari benih 2 kilo saja saya harus berburu terlebih dahulu ke berbagai tempat sebelum nemu supplier yang baik hati bersedia menjual benih seperti yang saya kehendaki, bagaimana kalau nanti saya butuh benih dalam jumlah besar?

Masalahnya, para penjual benih itu juga pembudidaya yang menjual belut konsumsi. Benih-benih itu sebenarnya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan baru dijual kalau ada kelebihan. Celakanya, yang saya jumpai sampai saat ini, kebanyakan benih yang tersisa adalah benih yang tidak lolos seleksi. Hanya sedikit saja yang bisa dibilang berkualitas.

Sudah barang tentu saya tidak bisa menyalahkan mereka. Sudah bagus ada yang mau berbagi benih dengan saya. Kalau nantinya saya butuh benih berkualitas dalam jumlah besar, nampaknya tidak ada pilihan lain kecuali “memproduksi” benih sendiri.

Nah kalau untuk pembesaran saja urusannya tidak gampang, apalagi kalau membuat pembenihan. Saya belum bisa membayangkan.

Atau, mungkin memang sebaiknya tidak usah dibayangkan dulu, tapi langsung dikerjakan saja? Siapa tahu malah lebih gampang?

Untuk saat ini nampaknya saya memang harus bersyukur saja dulu, ada yang mau berbagi benih dan pengalaman. Lebih baik saya konsentrasi pada pembesara belut saja. Urusan benih dipikir sambil jalan.

Pernah suatu saat, senior yang baik hati itu memberi ide, sebaiknya saya konsentrasi sebagai produsen bibit saja. Pasarnya sangat besar. Bahkan beliau lebih senang kalau saya bisa memenuhi kebutuhan benihnya, sehingga beliau bisa konsentrasi pada budidaya pembesaran belut.

Saya menerima usulan itu, tapi tidak untuk sekarang. Untuk saat ini saya perlu prestasi riil dulu untuk memompa semangat yang sempat kembang kempis akibat beberapa kegagalan sebelumnya.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

30 November 2009

MEMANG TIDAK SULIT, TAPI JUGA TIDAK GAMPANG


Dari berbagai pengalaman selama belajar budidaya, saya mendapati bahwa budidaya belut ternyata tidak segampang perkiraan semula. Bagian yang paling membutuhkan kesabaran, menurut saya, adalah saat proses membuat media. Bahkan ketika saya mengerjakan dengan komposisi bahan dan prosedur sesuai dalam buku referensi, tetap tidak berhasil.

Perlu beberapa kali percobaan dengan berbagai jenis bahan, termasuk menggunakan jurus setengah ngawur lantaran nyaris putus asa, sebelum akhirnya saya menemukan komposisi yang pas dengan kondisi lingkungan tempat saya melakukan budidaya.

Saya sangat yakin, kondisi lingkungan tempat bahan berasal serta kondisi lingkungan tempat budidaya sangat menentukan perbandingan bahan maupun susunan komposisi. Terbukti ketika saya pindah lokasi, “formula” yang semula saya anggap pas, ditempat baru ternyata tidak disukai belut.

Ketika kemudian saya menemukan komposisi yang pas, sesuai dengan kondisi lingkungan tempat budidaya, saya menghadapi kendala baru ketika kemudian berniat membuat media dalam jumlah lebih banyak. Salah satu komponen media yang sulit dicari dalam jumlah banyak adalah lumpur.

Kalau sekedar asal lumpur memang tidak sulit, tapi setelah saya mencari lumpur dengan kualitas tertentu, ternyata tidak mudah. Kalaupun barangnya tersedia, pemilik lahan tidak rela lumpur sawahnya diambil dalam jumlah banyak. Lalu ketika saya mencari ditempat lain, ternyata kualitasnya tidak sama.

Walaupun akhirnya saya bisa mengatasi masalah itu, tetap saja harus melalui beberapa kali uji coba yang menguras pikiran, tenaga, kantong, sekaligus butuh semangat pantang menyerah yang luar biasa.

Memang ada beberapa teman yang bernasib mujur, mendapat lokasi budidaya yang ideal, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan seperti saya dalam menyiapkan media, namun ternyata mereka menghadapi kendala pada tahapan lain. Entah belutnya gampang terserang penyakit atau pertumbuhannya lambat. Pokoknya, pasti ada kendala yang harus diatasi sebelum akhirnya bisa bernafas lega.

Saya rasa, bagi para pemula memang sebenarnya tidak ada yang gampang. Tapi itu semata-mata hanya karena para pemula belum tahu bagaimana cara mengerjakan dengan benar. Setelah tahu, ya …. tetap saja tidak gampang.

Saya bilang tidak gampang. Bukan sulit. Soalnya saya tidak ingin memberi gambaran keliru seolah-olah budidaya belut bisa dikerjakan sambil lalu, segampang membalik telapak tangan. Lalu, ketika kemudian ada yang tidak berhasil, saya katut dituduh menipu.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

08 November 2009

MEMBUAT MEDIA BELUT


Sejak awal saya sudah mendapat wejangan dari beberapa pakar belut, supaya cermat dalam mempersiapkan media. Menurut mereka, kualitas media sangat menentukan keberhasilan budidaya.

Menyiapkan media ternyata tidak gampang, walaupun juga tidak bisa dibilang sulit. Kalau kemudian menjadi sedikit membingungkan itu gara-gara saya terlalu getol mencari tambahan informasi. Mestinya saya ikuti saja petunjuk pembimbing saya tanpa banyak pertimbangan dan tidak usah mencari informasi pembanding. Tapi karena saya sedikit agak perfeksionis, alih-alih mendapat informasi tambahan, akhirnya malah jadi bingung ketika informasi yang saya dapat berbeda antara satu dengan yang lain..

Salah satu yang mengacau kecerdasan saya yang hanya pas-pasan ini adalah pemanfaatan enceng gondok. Yang tidak suka eceng gondok bilang kalau enceng gondok menghambat pertumbuhan plankton dan membuat media jadi keras. Sementara yang lain bilang enceng gondok berguna sebagai tempat persembunyian belut dan memperkecil fluktuasi temperatur air. Bingung dah. Akhirnya saya ganti kangkung. Tapi apa pengaruhnya terhadap belut, saya tidak bisa memantau.

Begitu juga dengan persiapan media. Setiap orang ternyata punya resep masing-masing. Lalu, sebelum terlanjur jadi idiot lantaran kebanyakan mikir, saya memberanikan diri mengambil kesimpulan sendiri. Pada percobaan pertama saya menggunakan jerami, lumpur sawah dan pupuk kandang sebagai bahan dasar media. Tanpa gedebog pisang, karena ada yang bilang kalau media yang dicampur gedebog pisang butuh waktu lebih lama untuk menjadi matang.

Sampai saat ini saya tidak tahu, apakah ramuan media yang saya pakai juga punya andil terhadap kegagalan pada percobaan pertama. Tapi sekedar untuk tidak mengulang kesalahan serupa, maka pada percobaan kedua saya sedikit mengubah komposisi bahan media, memakai rajangan gedebog pisang, jerami dan lumpur sawah. Tanpa pupuk kandang, tapi ditambah larutan dekomposer. Mengapa pakai dekomposer? Lha petunjuknya begitu, ya dituruti saja. Belum saatnya bagi saya untuk berimprovisasi. Daripada nanti panen belut goreng, lebih baik untuk sementara manut saja.

Sesuai petunjuk orang yang saya anggap tahu, jerami dan rajangan gedebog pisang diolah dulu di luar kolam. Kalau tidak salah dengar, difermentasikan dengan bantuan dekomposer. Caranya, saya buat petakan ukuran 2 x 2 meter dari kayu bekas kemasan. Taruh petakan di tempat kering, lalu campuran gedebog dan jerami di tuang ke dalam petakan kayu sampai ketinggian kira-kira 10 cm. Setelah itu larutan dekomposer disemprotkan ke atas permukaan bahan. Setelah semua permukaan disemprot secara merata, lapisan kedua diletakkan di atasnya, juga setinggi 10 cm, lalu disemprot lagi. Begitu seterusya sampai seluruh bahan habis. Terakhir, permukaan paling atas ditutup menggunakan karung goni. Lalu dibiarkan selama kurang lebih 1 bulan.

Setelah matang, media dicuci dengan cara direndam dalam air selama 7 hari. Selama masa perendaman, air diganti setiap hari. Pada akhir hari ke tujuh, air dikuras habis, kemudian media dibagi rata dalam tong, diberi larutan microstarter, ditambahkan lumpur sawah dan air, lalu diaduk sampai rata. Sampai disini persiapan media bisa dianggap selesai, tapi belum bisa dipakai. Masih harus nunggu kurang lebih 1 bulan lagi sampai media aman digunakan. Dan selama menunggu, setiap 2 minggu air diganti baru.

Kalau ada yang pengin tahu, larutan dekomposer itu apa? Saya tidak tahu. Yang jelas jangan coba-coba diminum. Itu saja. Dekomposernya sendiri berupa bubuk, lalu dicampur air dengan takaran 50 gram dekomposer dengan air satu jeriken ukuran 5 liter. Microstarternya saya juga tidak ngeh. Waktu itu saya terima saja apapun yang diberikan teman. Perbandingan medianya juga lupa tidak dicatat. Benar-benar konyol.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

03 November 2009

PERSIAPAN TEHNIS SEBELUM BUDIDAYA BELUT DIMULAI


Langkah awal yang harus dikerjakan, ya bikin kolam. Mau menggunakan tong, terpal, semen atau tumpang sari di sawah, terserah yang penting jangan memakai wajan.

Sebenarnya, begitu pembuatan kolam mulai dikerjakan, kita bisa sekaligus mulai menyiapkan media dan pakan, supaya budidaya bisa start lebih cepat, segera panen dan cepat pula dapat untung gede. Maunya sih. Tapi sebaiknya jangan dilakukan.

Bagaimanapun juga, namanya belajar tetap lebih baik dilakoni step by step. Kehilangan duit bisa dicari lagi, tapi kalau sampai gagal gara-gara adu balap dengan nafsu keburu pengin kaya, membuat orang gampang putus asa.

Membuat kolam bisa suruhan orang, itu bukan ketrampilan tehnis yang wajib dimiliki oleh pembudidaya belut, tapi urusan pakan, memilih bibit dan terutama menyiapkan media, harus dipelajari betul. Jangan sampai belut Anda lebih suka pindah ke wajan ketimbang tinggal di kolam hanya gara-gara Anda malas belajar cara meramu media.

Menurut pengalaman saya, sebagian besar sukses budidaya belut sangat ditentukan oleh kualitas media. Selagi medianya cocok, belut tidak terlalu rewel. Menu makannya cukup belatung, cacing rambut atau keong emas cacah. Tidak perlu dikasih hamburger atau cap jay. Kalaupun terpaksa sampai dua atau tiga hari tidak dikasih makan – memangnya ditinggal ngungsi kemana? – belut masih bisa bertahan.

Karena belut lebih menyukai pakan segar, maka di sela-sela belajar meramu bahan media, sebaiknya disempatkan pula belajar mempersiapkan pakan. Yang ini bisa dipelajari lewat buku, karena budidaya cacing atau keong sangat mudah. Kesalahan apapun yangterjadi, kecuali tersiram minyak panas, cacing dan keong tetap mampu bertahan hidup dan berkembang biak.

Sedikit peringatan, seandainya sampai terpaksa harus membudidayakan keong emas, sebaiknya dijaga jangan sampai ada yang terlepas atau Anda akan mendapat pekerjaan baru, memburu keong yang berkembang biak subur dipekarangan. Meskipun keong emas lebih cocok hidup di sawah, bukan berarti mereka tidak bisa menginvasi pekarangan rumah dan mengacak-acak tanaman kesayangan anda.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

20 September 2009

SEBENARNYA TIDAK SULIT

Walaupun dana saya mepet, kegagalan tidak pernah menjadi masalah buat saya. Semua sudah diperhitungkan. Yang mengganggu justru reaksi lingkungan. Teman-teman mentertawakan ide saya budidaya belut, yang mereka anggap konyol. Setelah kegagalan itu, saya selalu ketemu banyak konsultan dadakan yang memberi nasehat tentang sisi negatifnya budidaya belut. Tidak ketinggalan pula saya mendapat kiriman segepok artikel media masa yang mengulas potensi semu pasar belut. Intinya, menurut mereka, belut tidak layak dan tidak mungkin dibudidayakan. Dan – masih menurut mereka, saya terlalu bego sampai terbujuk oleh informasi sesat yang sengaja disebar oleh penyelenggara bisnis pelatihan.

Dari komunitas korban budidaya jangkrik saya pernah menerima kliping berita penipuan yang dilakukan oleh salah satu asosiasi peternak jangkrik terhadap berbagai pihak, termasuk beberapa pemerintah daerah. Karena tidak ada kelanjutannya, saya tidak tahu apakah berita itu benar atau sekedar black campaign dari para pesaing asosiasi. Tapi yang jelas, sampai saat ini saya masih menjumpai banyak pembudidaya jangkrik yang berhasil sukses, meskipun yang gagal justru jauh lebih banyak.

Kalau komoditi yang hanya dikonsumsi burung saja bisa memberi hasil, kenapa belut yang dikonsumsi manusia dibilang tidak layak? Diamping itu, saya gagal bukan lantaran hasil panen saya tidak laku, melainkan karena malas menyiapkan pakan alami.

Setelah semua kesalahan yang sekiranya saya lakukan dan mungkin akan saya lakukan lagi sudah lengkap didata dan dicari solusinya, saya memutuskan jalan terus. Sayang, dengan berbagai alasan, teman saya memilih mundur. Tanpa teman, dengan kendala psikologis yang tidak mudah diajak kompromi, budidaya belut jelas bukan sekedar sulit lagi bagi saya. Walaupun saya tetap akan mencincang bekicot sendiri, tapi saya butuh teman sekedar untuk berbagi merinding sebelum mulai menjagal.

Setelah hampir dua bulan mencari partner dan ternyata tidak nemu satupun yang saya anggap cocok, akhirnya saya memutuskan jalan sendiri. Benar saja, tanpa teman kerja, saya merasakan teror berlipat dibanding sebelumnya. Benar-benar tiada hari tanpa merinding. Adakalanya saya nyaris berhenti budidaya bukan karena mengalami kesulitan atau ogah pegang belut atau cacing, melainkan semakin iba melihat bekicot dan cacing-cacing yang harus saya bantai. Semakin lama menjadi algojo, saya justru menjadi semakin sensitif terhadap binatang.

Ingin rasanya mengupah orang untuk melakukan pekerjaan horor itu, meskipun secara finansial tidak layak karena hanya menghidupi belut dua tong saja. Tapi seperti biasa , saya merasa harus mengerjakan sendiri dulu sampai berhasil sebelum menyuruh orang lain. Bukan apa-apa. Saya tergolong orang cerewet, dan saya tidak mau nantinya ada yang ngomel, “biasanya omong doang!”

Kali ini saya benar-benar ketemu batunya. Belum pernah ada bisnis yang sampai makan hati seperti ini. Saya yang oleh banyak orang dijuluki kapitalis tulen lantaran tega menagih piutang sampai sen terakhir dibuat tidak berkutik oleh cacing dan bekicot. Pada akhirnya saya memang berhasil memaksa diri menyelesaikan pekerjaan sampai panen, tapi kemudian kehilangan semangat ketika tiba saatnya harus menjual hasil panen. Saya terima begitu saja uang yang diberikan oleh pembeli, tanpa dihitung lagi apakah nilainya sesuai dengan jumlah belut yang terjual.

Kali ini budidayanya berhasil, tapi secara keseluruhan saya justru merasa gagal.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

02 September 2009

EMAS VOC

Menjadi bos bagi diri sendiri, pegang duit banyak, tanpa ada seorangpun yang mengontrol, bisa jadi bumerang. Godaan datang setiap saat. Kalau tidak tertib dan disiplin menahan diri, duit bisa terbang kesana kemari dan akhirnya ludes tanpa bekas. Atau paling tidak, perputaran usaha menjadi terseok-seok, hutang numpuk dan sulit membayar kewajiban.

Saya sedikit beruntung, godaan baru datang setelah saya punya sisa dana sebagai cadangan, sehingga tidak mengganggu kelancaran usaha. Tapi kalau diingat-ingat, tetap saja terasa konyol.

Suatu hari, salah satu pedagang sarang burung walet mampir ke rumah. Kali itu tidak membawa sarang burung, melainkan satu batang benda terbuat dari logam, berwarna kuning cerah, kurang lebih seukuran separo batu bata dibelah memanjang.

“Ini emas peninggalan VOC”

Memang ada huruf V, O dan C tercetak timbul membentuk logo VOC seperti yang sering saya lihat di buku sejarah.

“Semuanya ada satu ton.”

Busyet, kadal buntung. Siapa pula yang punya emas satu ton?

“Cuma empat ribu lima ratus per gram. Saya ikut sampeyan.”

Harga emas saat itu kalau tidak salah sekitar dua belas ribuan. Kalau yang ini harganya Rp 4.500 ………….. Menurut timbangan beras, batangan logam kuning itu punya berat 1 ons. Ups, mata saya hampir copot. Tidak perlu dibantu kalkulator, saya langsung bisa menghitung berapa keuntungan yang bakal saya dapat seandainya ……… Tanpa sadar, saya mulai menjadi rakus, dan saat itu pula nalar saya ketinggalan kereta.

“Tapi 1 ton harus dibeli semua, bos!”

Edan, duit embahmu po? Tapi lagi-lagi nalar saya sudah semakin jauh ketinggalan kereta. Dan sejuta gram emas itu tidak kepikiran lagi jumlah duitnya. Yang ada di kepala saya cuma untung, untung dan untung. Gede lagi!

Tidak berapa lama beberapa teman segera kumpul, dan kamipun langsung membahas “proyek besar”. Kesimpulan akhir memutuskan mencari investor. Dan itu tidak sulit. Menjelang malam sudah ada 6 investor bersedia bergabung. Total jenderal malam itu ada sebelas orang yang kehilangan nalar. Lalu keesokan harinya bertambah lagi menjadi tujuh belas setelah kami mendapatkan calon pembeli.

Agendapun disusun. Hari berikutnya empat diantara kami, terasuk saya, berangkat ke kelurahan Puring, Kebumen, untuk menemui pemilik emas. Pagi buta kami berangkat. Berkat semangat untung gede, hanya butuh waktu kurang dari dua jam untuk menempuh jarak sekitar 140 kilometer.

Walaupun akhirnya kami harus nongkrong di mobil hampir seharian, menunggu pemilik emas pulang kantor, tapi berhubung nalar sudah ketinggalan entah di mana, sesuatu yang mestinya terasa janggal jadi no problemo. Kami enjoy saja keleleran di seputar teras rumah.

Menjelang sore orang yang ditunggu baru nongol, dan ternyata dia bukan pemilk emas, tapi “tahu orang yang punya kuasa menjual emas”. Mestinya, ya, mestinya, saya segera sadar kalau ada yang janggal. Tapi bahkan sampai 2 hari kemudian, ketika kami masih saja selalu ketemu orang-orang yang ternyata hanya midle man, tidak satupun merasa aneh dengan transaksi yang mulai berbelit itu.

Hari ke 3 kami berada di nGawi, Jawa Timur. Dan terpaksa minta dikirim satu mobil lagi karena Panther Miyabi yang kami bawa tidak bisa menampung lebih dari 7 orang. Dari tempat satu ke tempat berikutnya penumpang selalu bertambah. Mereka semua makelar. Bahkan 2 hari kemudian, sampai mobil ke dua penuh, dan kami sudah menempuh jarak entah berapa ratus kilometer, pemilik atau orang yang konon punya kuasa jual belum ketemu.

Saya mulai jengkel, lalu memutuskan pulang. Para makelar itu saya lepas begitu saja disepanjang perjalanan balik ke Yogya. Tentu saja saya harus memberi sekedar uang transport. Tapi saya tidak keberatan karena batangan seberat satu ons boleh saya bawa.

Mestinya, sekali lagi, mestinya, saya harus curiga. Kalau itu emas betulan, mana mungkin pemiliknya melepas begitu saja tanpa ada jaminan? Apalagi melewati begitu banyak tangan. Padahal, saya sendiri bisa kalap tidak karuan ketika buku yang dipinjam teman dipinjamkan lagi pada orang lain yang tidak saya kenal.

Batangan kuning itu berada ditangan saya kurang lebih sekitar 2 minggu sebelum akhirnya saya mendapat kontak dari seseorang yang mengaku sebagai pemegang kuasa jual. Kalau Anda pikir orangnya segagah para konglomerat, Anda keliru besar. Penampilannya sedikit agak kumel, rambut acak-acakan seolah sudah lama tidak tersentuh sisir, kulit hitam legam terbakar sinar matahari dan telapak tangannya lebih kasar dari tangan tukang aduk semen di proyek pelebaran jalan depan kios. Orang itu datang naik bis kota setelah menempuh perjalanan dari Klaten juga mengunakan bis umum.

Klaten? Berhari-hari saya menempuh perjalanan jauh, muter-muter kesana kemari, ternyata yang dicari malah ngumpetnya cuma di Klaten. Hanya berjarak 47 kilometer dari kios. Edan.

Melihat penampilan pemegang kuasa jual yang tidak begitu meyakinkan, walaupun orang itu menunjukkan segepok dokumen, akal sehat saya mulai pulih. Dan saya memutuskan mundur pada saat teman-teman, yang jumlahnya semakin banyak, rame-rame berangkat ke Klaten.

Dua hari kemudian saya sempat menerima telepon dari rombongan yang ternyata sudah berada di Madura. Dalam bahasa polisi, informasinya A1 – tepat dan akurat. Barang positif ada. Mereka semua sudah melihat – dan untuk bisa melihat itu ternyata mereka harus bayar mahar 25 juta. Disaat pikiran mulai kacau dan nalar mulai surut, entah nemu ide dari mana, saya membawa emas batangan yang ternyata masih tertinggal di rumah, ke toko emas langganan keluarga.

Wajah pemilik toko nampak penuh derita setelah melihat batangan yang saya sodorkan. Lalu, setelah penampilan memelas itu reda, bak anak balita, saya digandeng masuk ke ruang kerja di balik dinding kaca. Ketika sampai di dalam, saya sempat melihat beberapa karyawan di luar nampak cekikikan.

“Ini punyaku.” Pemilik toko menunjukkan batangan berwarna kuning. Lebih mengkilap dan ukurannya lebih kecil. “Kamu pasti masih ingat pelajaran fisika di SMP, berat sama dengan volume dikali berat jenis. Kalau beratnya sama, volumenya lebih besar ……. ”

Saya tidak memerlukan penjelasan lebih jauh untuk segera menyadari bahwa logam kuning yang saya bawa bukan emas. Dan saya terpaksa harus rela saat pemilik toko akhirnya ngakak sampai wajahnya merah. Ternyata, wajah memelas tadi lantaran dia mati-matian menahan tertawa.

Saat Itu telepon seluler masih menggunakan teknoligi AMPS. Coverage areanya terbatas, dan jelas Madura belum terjangkau. Jadi saya tidak bisa berbuat banyak untuk memberi peringatan pada kawan-kawan di sana. Untungnya, saat itu prosedur bank masih ribet, ATM juga terbatas dan satu-satunya bank yang memiliki cabang sampai pelosok hanya BRI. Jadi teman-teman harus pulang ke Yogya dulu untuk transfer ke BRI, sehingga saya bisa mencegah mereka mengalami rugi besar-besaran. Saya sendiri menghabiskan lebih dari satu juta untuk biaya perjalanan awal




23 Agustus 2009

DUKUN PAJAK


Saat sedang ngatri untuk menyerahkan laporan pajak tahun 2008, saya sempat omong-omong dengan orang yang ngaku sebagai konsultan pajak. Dengan sangat tidak sopan orang itu memaksa melihat berkas laporan yang saya bawa. Hanya sekilas, tapi dia sudah berani memastikan kalau saya membayar pajak terlalu banyak. Dia sanggup membantu supaya tahun depan saya hanya membayar pajak 50% saja. Lalu dia menyebut sejumlah nama yang diaku sebagai klien, dan kataya lagi, pajak yang mereka bayar semuanya kecil.

Kebetulan saja salah satu yang diaku sebagai klien adalah teman saya yang tahun 2007 lalu kena denda pajak diatas seratus juta. Ketika saya tanyakan masalah itu, buru-buru dia berkelit, “Saya bikin laporan untuk PT XXX yang di Magelang. Mungkin kebetulan saja namanya sama.”. Waktu saya beritahu kalau nama PT tidak mungkin sama, omongannya jadi ngelantur ngalor ngidul, lalu begitu ada kesempatan, tanpa persmisi orang itu langsung ngeloyor pergi.

Dana yang mepet dan tidak mau tahu urusan pajak sering membuat UKM menjadi korban dukun-dukun pajak. Saya bilang dukun karena cara kerja mereka memang mirip dukun: Menuruti apa saja kemauan wajib pajak tidak perduli benar atau salah dan tidak pernah memberi saran apalagi mengoreksi pembukuan wajib pajak.

Jauh hari sebelum teman saya melakukan kesalahan yang mengakibatkan perusahaan miliknya diperiksa, saya sudah menyarankan supaya memakai jasa konsultan pajak betulan, bukan sekedar minta tolong dibuatkan laporan pajak pada orang yang tidak ketahuan kapasitasnya. Saya memberi saran seperti itu karena omset usaha teman saya sudah jauh berlipat dibanding omset rental mobil saya, dan ada banyak transaksi yang menurut saya “agak rumit”, ditambah lagi status perusahaan teman saya sudah PKP.

Teman saya sempat mengikuti saran saya, tapi kemudian kembali pada “konsultan” lama karena menurut dia orang yang saya rekomendasikan terlalu banyak mencampuri urusan dapur perusahaan. Konsultan baru itu melarang teman saya menjual kuitansi kosong atau menyewakan nama dan NPWP perusahaan.

Menurut teman saya, konsultan pajak tidak perlu tahu urusan dapur perusahaan, tapi cukup membuat laporan berdasar catatan pembukuan yang berikan setiap akhir tahun.

Entah teman saya mendapat ide itu dari siapa, yang jelas ketika petugas pajak kemudian menggerebeg tempat usahanya dan memboyong apa saja yang bisa diangkut, hitung-hitungan akhirnya hampir membuat teman saya lupa bernafas.

Pajak memang rumit, dan kalau tidak hati-hati, wajib pajak bisa terjebak oleh peraturan yang sulit dimengerti oleh orang awam.

Sejak awal punya usaha saya selalu berusaha tertib dan taat pajak, antara lain dengan memanfaatkan jasa orang yang saya anggap ngerti pajak. Walaupun begitu, saya sempat mendapat pelajaran pahit juga.

Pada era 90 an, saat bisnis sarang burung walet dan grosiran saya masih berjaya, untuk membuat laporan pajak saya menggunakan jasa “orang pajak” – itu istilah yang biasa dipakai teman-teman sesama pengusaha untuk orang yang biasa diminta bantuanya untuk membuat laporan pajak.

Biasanya saya menghubungi orang itu menjelang akhir tahun, supaya laporan saya bisa cepet selesai sebelum orang itu kebanjiran order. Data pembukuan Januari sampai Oktober saya serahkan duluan untuk diperiksa barangkali ada yang perlu direvisi, sementara data November – Desember saya serahkan setelah tutup buku selesai. Akhir Januari hitungan pajaknya sudah rampung dan bulan berikutnya saya sudah terbebas dari pekerjaan tahunan yang paling menjemukan itu.

Saat usaha saya dinyatakan bangkrut dan saya menjalani pemeriksaan pajak, ternyata bantuan “orang pajak” itu sama sekali tidak ada manfaatnya. Saya masih kena denda pajak yang jumlahnya tidak bisa dibilang kecil. Semula saya pikir petugas pajak yang memeriksa saya memang sengaja mencari-cari kesalahan, tapi belakangan, setelah saya sedikit paham aturan pajak, ketahuan kalau laporan pajak yang selama ini setiap tahun dengan bangganya saya serahkan sebagai bukti ketaatan saya pada peraturan pemerintah ternyata dibuat asal jadi.

Ketika kesalahan itu saya konfirmasikan pada pembuatnya, saya malah ganti disalahkan lantaran dianggap tidak terbuka. “Orang pajak” itu bahkan menuduh saya sengaja menyembunyikan pembukuan yang asli dan hanya memberi data rekayasa.

Dasar tuyul gosong! Saya sudah berikan semua yang dia minta, bisa-bisanya ngeles seperti itu. Masih ditambah lagi, saya juga disalahkan karena sebagai pengusaha saya tidak tahu sedikitpun mengenai aturan pajak, dan hanya pasrah bongkokan begitu saja pada konsultan pajak.

Konsultan pajak? Berani-beraninya orang itu menyebut dirinya konsultan. Kapan pula dia memberi konsultasi?

Tapi harus saya akui, monyet bau itu tidak sepenuhnya ngawur. Memang benar kalau pengusaha harus ngerti aturan pajak. Paling tidak jangan bego-bego amatlah. Disamping itu, konsultan atau apapun namanya, selama dia hanya bekerja menjelang penyerahan SPT saja, tidak rutin mengikuti aktifitas pembukuan perusahaan dan hanya membuat laporan pajak berdasar data pembukuan thok, yang diserahkan setahun sekali setelah tutup buku, sepandai apapun orangnya, tidak akan bisa membuat laporan pajak dengan akurat. Apalagi kalau masih mendapat pesanan supaya “bayar pajaknya sedikit saja”.



PREV - MABUK PAJAK - NEXT

14 Agustus 2009

Assalamu'alaikum

Nama saya Djati Widodo. Lahir tahun 1962, ketika beras masih menjadi makanan mewah bagi sebagian besar penduduk negeri ini.

Kalau mau sedikit bohong, sehari-hari saya mengelola PT ASA CIPTA, rental mobil yang saya dirikan keroyokan bareng teman-teman. Realitanya, di kantor saya lebih sering fesbukan dan ngobrol ngalor ngidul. Saya punya tim kerja yang luar biasa, sehingga nyaris tidak ada lagi pekerjaan yang tersisa untuk saya selain tandatangan – itupun hanya karena tidak bisa diganti orang lain.

Saya menjadi pengusaha bukan lantaran sulit cari kerja apalagi bosan jadi pekerja, tapi memang sejak kecil suka berniaga. Entah, penyakit itu datangnya dari mana. Orangtua sampai nenek moyang semuanya pegawai pemerintah. Tidak satupun menjadi pedagang. Tetangga kiri-kanan juga ambtenaar. Bahkan saat itu, pengusaha masih dianggap kasta rendah dan semua orang punya cita-cita jadi pegawai negeri. Tapi sejak awal saya sudah ngotot pengin berdagang. (Barangkali mungkin kesambet jin konglomerat waktu pipis di bawah pohon.)



Akhir Agustus 2011, saat ayah saya meninggal, selain menerima ucapan belasungkawa, saya mendapat pertanyaan sama dari seluruh teman yang hadir melayat, "Kamu bukan cina?"

Entah kenapa, meski profil wajah saya mirip dengan keluarga yang lain, tapi mata lebih sipit dan warna kulit agak luntur, sehingga banyak yang menyangka saya barang import dari tanah leluhurnya Jenghis Khan.

Saya menikah dengan Sri Wahyuni dan dikaruniai dua anak. Yang sulung bernama Adella, sementara adiknya belum sempat punya nama lantaran keluar jauh sebelum waktunya dan langsung pamit.






12 Agustus 2009

Navigasi

Karena struktur blognya mengalami perubahan, navigasinya juga harus diganti. Tapi, jaminan bahwa komputer Anda tidak akan meledak meskipun Anda salah pencet, tetap berlaku.

Selain judul tujuh post terakhir yang tetap saya tampilkan di halaman depan, di bawah POST TERAKHIR, yang lain hampir seluruhnya berubah.

Halaman Peta Situs saya pindah ke kolom kanan, jadi Anda hanya perlu satu kali klik saja untuk melihat judul post berdasar kategorinya.

MENU UTAMA di pojok kanan atas juga saya sederhanakan. Cuma ada DEPAN untuk kembali ke halaman depan dan KONTAK untuk kirim email. Sementara EDITnya masih tetap monopoli saya, untuk masuk ke halaman admin

Link navigasi pada setiap halaman post juga masih tetap ada, formatnya juga masih sama seperti di bawah ini:

PREV - <kategori> - NEXT
HOME

• PREV - previous, digunakan untuk berpindah ke post sebelumnya, sesuai judul kategori.
• NEXT digunakan untuk maju satu halaman.
• Seandainya Anda ingin membaca post dari kategori lain, silakan kilik link KATEGORI.

Terimakasih sudah berkunjung, semoga petunjuk ini tidak membuat Anda semakin bingung.

07 Agustus 2009

PERSIAPAN AWAL BUDIDAYA BELUT

Meskipun belut mampu bertahan dalam kondisi ekstrem, bukan berarti gampang dibudidayakan. Peraturan pertama yang harus dipatuhi, JANGAN MENCOBA. Usaha apapun yang Anda lakukan, kalau ingin sukses, jangan pernah dimulai dari mencoba. Entah skala kecil atau besar, kerjakan dengan serius sejak dari awal. Niat mencoba hanya akan membuat Anda berjalan dengan semangat anget-anget tai kebo.

Peraturan kedua, jangan pernah mengawali usaha semata-mata karena ingin cepat mendapat untung gede dengan cara gampang. Bagi pemula, budidaya belut tidak bisa dibilang gampang. Kalaupun tidak gagal, paling tidak Anda harus mau bersusah payah menyiapkan makan setiap sore. Bagi orang yang keburu pengin cepat kaya, mencacah keong bukan pekerjaan ringan.

Jadi, kecuali punya tenaga khusus untuk merawat belut, pastikan bahwa anda memang benar-benar siap mental menghadapi segala kerepotan yang bakal menjadi aktifitas rutin.

Setelah melakukan persiapan mental, dan merasa yakin benar-benar sanggup kerja keras, Jangan keburu mulai. Walaupun nantinya Anda hanya pegang peran sebagai juragan dan hanya main perintah, sebaiknya jangan hanya belajar dari teori buku saja. Sebisa mungkin hadiri pelatihan budidaya, atau minimal, belajar lebih dahulu dari orang yang pernah budidaya.

Salah satu bagian tersulit dalam budidaya belut adalah proses menyiapkan media. Seperti orang belajar memasak, tidak bisa hanya mengandalkan takaran berdasar petunjuk buku. Untuk mendapat ramuan yang pas, perasaan harus dilibatkan. Bagian ini akan lebih mudah dipelajari kalau ada petunjuk langsung dari orang yang pernah melakukan.

Saya menganjurkan semua itu bukan lantaran anti buku. Malah sebaliknya, gara-gara hanya belajar dari buku saja, maka saya jadi tahu benar betapa sulitnya belajar budidaya belut.

Saya gagal lebih dari lima kali sebelum media yang saya ramu diterima oleh belut. Dan saya terpaksa menerima pelajaran ekstra, tersayat serpihan cangkang keong, gara-gara tidak ada buku yang memberitahu kalau cangkang keong bisa setajam pecahan beling. Banyak pengalaman pahit yang sebenarnya tidak perlu terjadi, seandainya saya punya “guru spiritual belut”.

Perlu diingat, budidaya belut bukan sekedar aktifitas mencari keuntungan, melainkan usaha untuk kompromi dan “membujuk” belut supaya mau tinggal di kolam yang kita sediakan, mau makan banyak supaya cepet jadi gendut, dan akhirnya bisa dijual dengan harga tinggi. Jadi, kecuali Anda punya modal tidak terbatas, sehingga mampu mempekerjakan ahli belut, Anda wajib tahu cara “bekerjasama” dengan belut.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

02 Agustus 2009

PENGALAMAN PERTAMA BERSAMA BELUT


Karena sadar betul bahwa saya menghadapi lebih banyak kendala, terutama masalah psikologis, maka terhadap komoditi satu ini saya tidak mau terburu-buru. Selain harus belajar masalah tehnis, saya juga harus mempersiapkan mental untuk berdamai dengan belut phobia. Saya juga harus menguatkan nyali, bukan hanya untuk memegang cacing, bekicot atau belatung, melainkan juga harus belajar menjadi raja tega supaya punya nyali untuk membantai dan mencacah cacah hewan-hewan itu sebagai pakan belut.


Setelah mencoba flash back, baru saya sadari kalau seumur hidup ternyata hanya nyamuk dan ular saja binatang yang pernah – dan sering saya bunuh dengan sengaja. Membunuh ularpun sebenarnya bukan karena sengaja, melainkan reflek, lantaran terlalu histeris, sampai saya kehilangan nalar.

Disaat saya sedang panas dingin belajar jadi algojo, ada informasi kalau pakan belut bisa diganti pelet. Alhamdulillah …….. Jadi tinggal belajar berantem dengan belut. Rasanya tidak sulit.

Januari 2009 saya mulai membuat persiapan. Pertamakali, mencari partner. Jujur saja, saya butuh teman, paling tidak supaya benih belut yang saya beli nanti benar-benar dibudidayakan, dirawat, dikasih makan, bukan saya buang kecomberan lantaran nyali saya masih sentlap-sentlup.

Ada teman, korban PHK, yang bersedia kerja bareng.

Persiapan dilanjutkan.

Karena masih pemula, kami mengawali dengan 2 tong. Dengan bekal pengalaman selama masa pelatihan – yang ternyata justru banyak lupa, media lumpur diolah secara ketat mengikuti petunjuk dari buku - Dan ketika medianya siap dituang air beberapa hari kemudian, bukunya sudah tidak karuan lagi bentuknya.

Pertengahan Maret benih disebar. Supaya tidak terlalu ribet, setiap tong cukup diisi 0,5 kg benih atau menurut penjualnya kurang lebih 40 ekor anak belut. Setelah sekian bulan tidak menyentuh belut hidup, phobia saya kambuh. Pada sentuhan pertama, merindingnya gak karuan.

Setelah semua bibit masuk, permukaan air diberi kangkung sebagai tanaman peneduh – karena susah cari enceng gondok, bagian atas tong ditutup kasa, dan terakhir, pompa akuarium dinyalakan. Jadilah farm belut saya mulai beroperasi. Ternyata tidak sulit. Pekerjaan selanjutnya cuma menabur pelet dan memantau kondisi air.

Terbukti kan, selama ada kemauan, apapun kendalanya, pasti bisa diatasi.

Sambil mengurus farm – boleh dong pakai istilah keren, biar tambah semangat. – kami mulai membuat rencana kedepan. Lalu ketika hitungan angkanya sudah matang, kami segera mencari lokasi tanah - bakal farm betulan, untuk disewa. Bulan ke tiga setelah tebar benih semuanya sudah siap. Lokasi tanah sudah ketemu, supplier tong sudah dapat, tenaga pembantu sudah ada, dan paling penting, duit sudah tersedia. Cuma entah kenapa, mendadak semangat kami berdua sedikit mlempem.

- Tunggu anakku lahir, bulan depan.

Teman saya mulai berdalih untuk mengulur waktu. Herannya, saya setuju saja. Padahal biasanya, kalau ada yang semangatnya kendor, saya paling kencang berteriak.

Bulan berikutnya si bayi lahir. Alhamdulillah. Kebetulan juga, benih belut yang ditebar sudah waktunya dipanen. Jadi sekalian saja syukuran bareng. Hari H-nya ditetapkan tanggal 21 Juli dan belut hasil panen perdana diniatkan untuk lauk syukuran.

Pada hari H, kami berdua plus keluarga besar teman, termasuk jabang bayi, berkumpul di teras belakang. Setelah berdo’a, acara panen dimulai. Saya mendapat kehormatan untuk mengawali panen.

Dengan semangat tidak karuan, karena lagi-lagi phobinya kambuh, saya memaksa diri memasukkan tangan ke dalam tong. Aduk sana, aduk sini. Setelah beberapa saat, nyali saya mulai tumbuh dan saya menjadi semakin bersemangat. Tapi, disaat mulai kegirangan, sekaligus saya mulai heran. Kok, tangan saya sejak tadi tidak nyenggol apa-apa? Aduk lagi sana-sini. Tetap tidak nemu apa-apa.

Gawat! Perasaan saya mulai tidak enak.

Melihat keadaan saya, teman saya menjadi tidak sabar, tong satunya langsung diubeg. Sami mawon. Akhirnya kami sepakat menumpahkan isi tong.

Byurrrr ………….

Diantara lumpur yang mengalir ke mana-mana terlihat ada beberapa makhluk bergerak-gerak. Beberapa ekor ………… ah, ternyata cuma empat, ukurannya lumayan besar, walaupun tidak sebesar hasil panen di tempat pelatihan, sementara lainnya …….. ada tujuh ekor, ukurannya cuma sedikit lebih besar dibanding benih yang dulu kami tebar. Lainnya mana? Lalu kenapa yang gede cuma empat dan yang lain cebol?

Walaupun sejak awal, saat semuanya running well, saya sempat was-was kalau-kalau nanti bakal ada kejutan, tak urung ketika kejutan itu benar-benar datang, saya sempat merasa kecewa. Masalahnya, saya tidak menyangka kalau kejutannya bakal seperti ini. Prediksi saya semula, kalaupun gagal, mungkin belutnya mati satu persatu, atau bagaimana, pokoknya tidak seperti itu. Lha ini, yang mati tidak ketahuan bangkainya, sementara yang tersisa ukurannya tidak seragam. Bener-bener ajaib.

- Kamu yang ajaib. Ide siapa kasih makan belut pakai pelet?.

Pelatih saya ngakak setelah tahu masalah yang saya hadapi.

Yaahhhhhh …….. budidaya belut ternyata tidak boleh semau gue. Gara-gara males menyiapkan pakan alami, belut-belut saya saling memangsa. Yang selamat tapi tidak kecukupan gizi – mungkin kalah berebut bangkai, tumbuhnya lambat, jadi kontet.

Pelajaran pertama: Kalau mengerjakan sesuatu, lakukan dengan sungguh-sunggu dan sepenuh hati.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

22 Juli 2009

PELUANG BISNIS BELUT


Tak ada angin dan tiada hujan, tiba-tiba saja saya tertarik pada budidaya belut. Padahal, melihat hewan satu ini, kecuali setelah jadi keripik, ngerinya bukan main. Saya phobia pada hewan bertubuh gilig yang melata atau berlendir. Saya belum pernah mencari tahu alasannya, yang jelas selalu merasa ngeri saja. Tanpa berusaha keras menahan diri, saya bisa kalap membunuh hewan malang itu dengan membabi buta.

Jadi, kalau sekarang saya tertarik, rasanya aneh saja.

Oke, jangan hiraukan masalah saya. Kita fokus pada belutnya saja.

Sebenarnya saya belum tahu pasti, seberapa besar sesungguhnya pasar riil belut. Apakah di luar negeri permintaan belut juga sebesar kabar yang belakangan semakin sering saya dengar, atau barangkali permintaan itu memang ada, tapi belutnya beda dengan yang dibudidayakan di Indonesia? Tapi, terlepas dari permintaan luar negeri, beda dengan jangkrik yang secara kasat mata saya tahu hanya dikonsumsi sebagai pakan unggas dan beberapa jenis ikan carnivora, permintaan pasar terhadap keripik dan abon belut bisa dibilang cukup besar. Dan kalau sudah berurusan dengan perut manusia, ditambah lagi harganya terjangkau seluruh lapisan masyarakat, pasar riilnya pasti tidak kecil.

Dengan kondisi seperti itu, plus budidaya belut – bagi pemula, tidak segampang lele, jangkrik atau ayam, maka seandainya terjadi over supply akibat booming, tidak akan berlangsung lama. Tingkat kesulitan yang tinggi akan menjadi faktor seleksi alam yang ampuh untuk segera menyingkirkan para penggembira dan petualang bisnis yang hanya mencari keuntungan sesaat. Jadi untuk saat ini, bagi orang yang benar-benar tekun, budidaya belut bisa dibilang cukup aman. Itu analisa saya. Lalu, bagaimana menurut “kata orang”?

Menurut sejumlah berita di koran, majalah agribisnis dan buku-buku budidaya belut, potensi pasarnya luar biasa. Berikut ini kutipan dari buku “Pembesaran Belut di Dalam Tong dan Kolam Terpal” terbitan AgroMedia Pustaka:

Salah satu kelebihan belut adalah dapat diterima pasar manapun, baik domestik maupun internasional. Terbukti, permintaan belut untuk konsumsi dalam negeri juga tinggi, bahkan belum bisa terpenuhi seluruhnya. Penyereap komoditi belut dalam negeri antara lain usaha makanan …. - Dst, saya potong - …. Tidak hanya itu, pakar pengobatan herbal dalam negeri juga banyak yang menggunakan belut sebagai saah satu bahan bakunya.

Selain itu, belut juga dapat menjadi produk ekspor. Terbukti permintaan belut dari negara-negara Uni Eropa berupa frozen dan smoke eel, hingga kini belum terpenuhi. Permintaan kulit belut untuk aksesori juga cukup besar. Misalnya, italia dan Amerika membutuhkan pasokan untuk dijadikan sabuk atau dompet. Bahkan pada tahun 2009, Cina membutuhkan 1 – 2 ton perbulan, khusus untuk darah dan tulang belut.

Dua paragraf kutipan itu saya rasa sudah cukup memberi gambaran tentang betapa potensialnya pasar belut. TAPI, selalu ada tapinya, semua itu kan cuma katanya. Kalaupun benar permintaan seperti itu memang ada, harus dipikirkan pula apakah saya punya akses untuk menjangkau pasar yang luar biasa itu?

Saya tidak mau terbuai oleh iming-iming yang kemungkinan besar tidak bisa saya jangkau, tapi saya juga tidak mau dibuat bingung oleh kenyataan bahwa banyak pembudidaya belut yang sukses, sekaligus tidak sedikit pula yang gulung tikar. Bagi saya, setiap usaha selalu punya dua sisi, gagal dan berhasil. Seberapa besar saya akan berhasil atau malah gagal, semuanya tergantung pada kemauan. Jadi saya menakar potensi sebuah peluang usaha pertamakali dengan melihat seberapa besar niat dan kemauan saya untuk bekerja. Selagi yang terbayang hanya duit, duit dan duit, saya langsung mundur.

Tujuan setiap orang membangun sebuah bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan, tapi kalau sejak awal yang terlintas dalam pikian hanya duit dan untung semata, maka begitu menghadapi rintangan pertama, konsentrasinya pasti langsung bubar. Dan tanpa konsentrasi, tidak ada lagi yang bisa diharapkan.

Saya masih belum tahu pasti, apa yang membuat saya tertarik pada bisnis belut, tapi kesadaran dan kesungguhan untuk berusaha menghadapi kesulitan dan kengerian yang sudah saya hadapi sejak saya mulai berusaha mempelajari belut sedikit banyak menjadi indikasi bahwa saya punya kekuatan walaupun sekedar untuk maju selangkah demi selangkah. Saya melihat potensinya, saya menyadari kesulitannya dan saya merasakan terornya, tapi saya masih bergerak maju, itu akan menciptakan peluang besar bagi saya.

Kalau Anda punya perasaan sama seperti saya, atau paling tidak Anda tahu bahwa budidaya belut tidak mudah, dan setelah berhasil sampai panenpun nantinya ada kemungkinan sulit memasarkan, tapi Anda tetap bergerak maju, maka saya berani bilang, bagi Anda, bisnis belut memang punya peluang besar.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

23 April 2009

TAAT PAJAK BIKIN RUSAK

Dipindahkan dari blog saya yang lain, UKM_online.co.cc

Idealnya sebuah usaha memiliki system administrasi dan keuangan sesuai dengan standard administrasi dan akuntansi. Tapi ketika saya mencoba mengerjakan persis seperti yang saya dapat di bangku kuliah, ternyata malah membuat saya kedodoran. Waktu saya habis tersita hanya untuk ngurus pembukuan dan mengatur arsip.

Transaksi penjualan eceran di kios kelontong saya tidak lebih dari 150 kali dalam sehari, tapi melibatkan uang receh dan puluhan item barang. Secara akuntansi, itu adalah mutasi yang ribet. Belum lagi transaksi pembelian barang dari supplier, lalu masih ditambah penjualan grosir yang hitungannya berbeda dari penjualan eceran. Dan yang paling merepotkan justru mengurus nota-nota dan menyusun arsip sesuai dengan urutan setiap transaksi.

Saat itu saya sudah memanfaatkan komputer, dan kebetulan juga ada software akuntansi dan inventory control. Tapi lantaran programnya mengacu pada sistem akuntansi dari luar negeri (awal dekade 90 an saya belum nemu sofware akuntansi yang dibuat oleh orang Indonesia), hasilnya justru semakin berantakan.

Software itu tidak mengenal customer sontoloyo yang membayar hutang dicicil sampai berkali-kali atau yang membayar pakai cek kontan tapi baru boleh dicairkan bulan depan, lalu ketika tiba saatnya dicairkan, ternyata tidak ada dananya. Software itu juga tidak mengenal pembayaran barter yang terpaksa saya terima lantaran pedagang yang kulak dari saya tidak mampu membayar dengan uang, lalu saya terpaksa menerima barter dengan apa saja, yang penting balik modal.

Ketika kemudian bisnis sarang burung walet saya berkembang, saya terpaksa mengambil jalan pintas. Warung kelontong yang omsetnya tidak seberapa itu saya biarkan berjalan begitu saja tanpa pembukuan, kecuali sekedar catatan arus kas sederhana. Saya hanya berkonsentrasi pada penjualan grosir gula pasir, beras dan sarang burung. 

Itupun masih lumayan puyeng, karena dari 3 jenis komoditi itu ternyata muncul lebih dari 10 item barang. Gula pasir 1 item. Beras ada beberapa item, terdiri dari Raja Lele, Pandanwangi, C4, Memberamo, Mentik, Cisadane, IR64 dan beras PNS, sementara sarang burung punya 4 item, yaitu sarang walet putih goa, sarang walet putih rumahan, sarang walet campuran dan sarang burung sriti.

Dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi diluar pakem akuntansi, saya kemudian berganti menggunakan software spreadsheet lotus 123 dengan entry data secara manual, supaya kalau suatu saat diperlukan, postingnya gampang dikoreksi.

Urusan intern beres. Saya bisa memantau arus kas, saldo kas riil, hutang-piutang, dan persediaan barang. Tapi ketika tahun 1996 saya bangkrut, pembukuan yang tidak mengikuti pakem akuntansi pajak itu menjadi bumerang. Setelah menjalani pemeriksaan pajak, saya dinyatakan masih punya hutang pajak dengan jumlah yang membuat saya seperti bangkrut 2 kali.

Pengalaman pahit itu memberi pelajaran berharga bahwa untuk sebuah perusahaan, tidak perduli hanya UKM, jangan pernah menganggap enteng urusan administrasi dan akuntasi. Dan kalau mau taat pajak, sebaiknya memang harus taat beneran, sesuai aturan. Taat pajak tapi semau gue hanya membuat saya tekor 2 kali.



PREV - MABUK PAJAK - NEXT

02 Maret 2009

SEKILAS TENTANG BELUT

Secara umum kita mengenal tiga jesnis belut, yaitu belut sawah (Monopterus Albus), belut rawa (Synbrancus Bengalensis) dan belut laut (Macrotema Caligans).

Belut bernafas dengan insang dan kulit tipis berlendir di dalam rongga mulutnya. Ukuran insang sangat kecil, dilengkapi dengan lubang yang menghubungkan insang dengan media di luar tubuh.

Insang digunakan untuk menghirup oksigen dari air, sementara saat berada di habitat lumpur dengan sedikit air dan miskin kandungan oksigen, belut menggunakan lipatan kulit di rongga mulutnya sebagai alat bantu pernafasan.

Belut termasuk hewan pemakan daging atau carnivora, dengan ciri-ciri:
  1. Hemat dalam memanfaatkan kalori, sehingga belut kuat bertahan hidup dalam lumpur      tanpa asupan makan dalam jangka waktu lama dan tidak mengalami perubahan berat badan yang signifikan.
  2. Setiap satuan berat makanan yang dikonsumsi menghasilkan berat badan yang sebanding
  3. Alat pencernaan makanannya menggunakan sistem hormonal dan enzimase, sehingga      belut mudah mencerna daging.
Sejak larva sampai fase belut muda, belut memangsa micro organisme seperti plankton, daphnia, larva serangga, berudu, dan ikan kecil. Setelah dewasa, belut makan binatang yang lebih besar, antara lain benih ikan, serangga besar, keong sawah, belatung, atau yuyu.

Secara biologis belut termasuk hewan hermaprodit protogini, atau mengalami perubahan kelamin dari fase betina ke fase jantan, atau sebaliknya.

Ketika muda belut berkelamin betina, namun setelah berumur lebih dari 9 bulan akan mengalami perubahan kelamin menjadi jantan. Dan dalam kondisi tertentu, ketika populasi belut betina hanya sedikit, belut jantan bisa berubah kembali menjadi betina.

Secara fisik, kelamin belut bisa dilihat dari panjang tubuh dan warna kulit. Belut betina rata-rata memiliki panjang kurangdari 40 cm, berwarna kulit lebih cerah, sementara belut jantan memiliki panjang lebih dari 40 cm, dengan warna kulit lebih gelap.

Pada masa transisi dan setelah menjadi jantan, belut akan menjadi lebih agresif dan ganas. Tidak jarang menjadi kanibal dan memangsa sesamanya.

Secara anatomi, kelenjar kelamin (gonad) belut memiliki ovarium sekaligus testis. Ovarium berjumlah sepasang, terletak memanjang di dalam rongga badan, di sebelah kiri dan kanan gelembung renag. Sedang testis terletak di bawah gelembung renang.

Pada belut, sel ovarium berkembang terlebih dahulu, sehingga belut muda berkelamin betina. Setelah berumur 9 bulan, fungsi jaringan ovarium mengalami reduksi, digantikan oleh jaringan testis.

Tidak semua induk belut mencapai kematangan gonad. rata-rata hanya 50 persen saja dari seluruh induk dalam satu populasi.

Belut berkembangbiak sekali dalam setahun. Masa perkawinannya sangat panjang, dimulai dari awal musim hujan sampai awal musim kemarau. Di Indonesia kira-kira 5 sampai 7 bulan.

Proses perkawinan biasanya terjadi di tempat yang lebih dangkal. Belut jantan membuat lubang berbentuk “U”. Perkembang biakan belut diawali dengan proses pemijahan yasng terjadi diluar tubuh induk betina (fertilisasi eksternal). Telur dikeluarkan pada saat pemijahan terjadi. Selanjutnya, telur yang sudah dibuahi diletakkan di bawah permukaan air, terlihat seperti buih.

Telur akan menetas dalam jangka waktu antara 10 sampai 12 hari. Ketika baru menetas, anak belut berwarna kuning, dan lambat laun berubah menjadi kecoklatan.

Anak-anak yang baru menetas diasuh oleh induk jantan sampai berumur 2 minggu. Selebihnya, anak-anak meninggalkan sarang dan mencari makan sendiri di tempat lain.

Habitat Belut:
Secara umum belut tidak membutuhkan kondisi iklim dan geografis yang spesufik. Habitat belut bisa di mana saja, meliputi air tawar, air payau hingga perairan asin dengan kondisi berlumpur dan kedalaman kurang dari 150 cm.

Sebagai binatang malam (nocturnal), belut menyukai tempat yang lembab, berair dan terlindung dari sinar matahari, tapi dalam keadaan terpaksa, belut mampu bertahan hidup sampai berbulan-bulan dilingkungan kurang air.

Biasanya seumur hidup belut hanya satu kali membuat lubang sebagai sarang. Jika tidak terusik, belut tidak meninggalkan sarang, kecuali setelah dewasa dan berubah kelamin menjadi jantan, belut akan mempersiapkan lubang baru sebagai tempat pemijahan.


PREV - BUDIDAYA BELUT- NEXT

23 Januari 2009

MULAI DARI RUMAH

Sebenarnya, mengawali bisnis dari rumah gak beda jauh dari yang punya outlet di tempat strategis. Walaupun tempat usaha punya pengaruh tapi menurut saya tidak signifikan.

Buktinya, banyak bisnis yang nongkrong di tempat-tempat seperti itu yang ambruk sebelum mencapai seumur jagung. Di Jogja ada beberapa pertokoan yang berada di tempat strategis bahkan tidak laku sama sekali. Pengusaha yang membuka lapak di sana harus gigit jari lantaran pengunjungnya terlalu sedikit.

Salah satu diantaranya adalah pertokoan Reksonegaran. Pada waktu masih menjadi pasar becek, selalu ramai dikunjungi konsumen. Kios-kios yang terletak di luar bahkan buka sampai malam dan selalu laris. Tapi setelah beberapakali renovasi, dan diubah menjadi pertokoan yang bersih, sampai hari ini tetap bersih dari pengunjung.

Adapula S***** Square yang kemudian malah ribut dengan penghuninya. Penyebabnya juga sama, sepi pengunjung. Begitu pula dengan grosir handphone dan komputer yang menempati bekas Gelael Adisucipto. Walaupun kondisinya lebih bagus, ada pembeli yang datang, tapi banyaknya penyewa yang kemudian tutup menunjukkan bahwa berniaga di tempat itu tidak memberi keuntungan yang memadai.

Sebaliknya, beberapa lokasi yang secara ukuran bisnis dianggap tidak strategis malah bisa membuat bisnis berkembang. Warung mbok Geneng terletak “nylempit” di gang kampung, tapi dikunjungi oleh orang-orang yang rela menempuh jarak jauh, nanggung resiko sulit parkir, ditambah lagi kalau apes masih harus ngantre sekedar untuk makan gudeg atau lele mangut yang sebenarnya bisa ditemukan di tempat lain.

Bisnis saya juga bermula dari emperan rumah. Yang terbukti luar biasa adalah Apple. Bisnis IT dengan logo apel krowak itu juga diawali dari garasi. Jadi, lupakan tempat darimana Anda akan mengawali bisnis. Fokus saja pada bisnis itu sendiri.

Walaupun begitu, ada satu hal penting yang harus di perhatikan bila mengawali bisnis dari rumah, yaitu jam kerja.

Orang bilang, menjadi pengusaha ibarat menikah dengan pekerjaan. Kadang bahkan istri resmi dinomer duakan demi pekerjaan. Tapi sebaiknya tidak perlu sampai seperti itu. Sesibuk apapun, tetap ada sisi kehidupan yang harus kita lindungi dari gangguan pekerjaan. Oleh sebab itu, tetapkan jam kerja utama, dimana pekerjaan memang menjadi prioritas utama. Entah eight to four atau nine to five, harus ada.

Selain untuk melindungi segala kepentingan supaya tidak saling bertabrakan, jam kerja utama penting untuk membiasakan disiplin. Kebiasaan orang yang bekerja di rumah, antara jam kerja dengan waktu tidur dan kelayapan sering kacau. Pada saat seharusnya kerja malah molor, sementara giliran harus istirahat masih kelayapan kesana kemari. Kalaupun melek di rumah, bukannya kerja tapi lebih banyak nongkrong di depan TV.

Disiplin adalah kunci utama keberhasilan. Jangan biarkan suasana rumah membuat Anda tidak disiplin.


PREV - MENGAWALI BISNIS - NEXT

MULAI DARI MANA SAJA


Beberapa hari yang lalu ada teman pensiunan bertanya, bagaimana cara mengawali bisnis dari rumah? Sebelum menjawab saya ganti bertanya, memangnya apa beda mengawali bisnis dari rumah, kakilima, kuburan atau kolong jembatan? Teman saya malah bingung.

Menurut saya, dua tempat yang sebaiknya tidak dipakai untuk mengawali bisnis cuma WC dan kamarmandi umum. Alasannya sepele, di sanalah satu-satunya tempat di mana ketenangan tidak pernah ada.

Bagaimana mau tenang kalau setiapkali ada yang mau pakai kita harus menyingkir keluar?

Semua tempat, kecuali yang dua itu, bisa digunakan untuk mengawali bisnis, karena bukan tempat untuk mulai yang menentukan bisnis bakal berhasil atau gagal, melainkan sikap mental orang yang menjalankan bisnis.

Saya mengawali bisnis beras dari emperan rumah karena harus kucing-kucingan dengan ayah yang tidak setuju saya sekolah nyambi jualan. Bisnis sarang burung walet saya mulai dari beranda rumah teman, tempat saya mengumpulkan remah-remah sarang walet untuk kemudian saya jual. Rental mobil saya lebih ngenes lagi, diawali dari ruang tamu, tapi nebeng di rumah orang.

Tidak masalah kita mengawali bisnis dari mana saja, tapi ada beberapa hal yang tidak boleh dilupakan oleh para pemula, supaya benih bisnis yang ditanam tidak layu sebelum berkembang atau malah langsung nyungsep pada langkah pertama.


  1. Niat dan keinginan saja tidak cukup. Bahkan semangat yang membarapun kadang masih kurang.
  2. Jangan pernah berani bermimpi mengawali bisnis tanpa modal sepeserpun. Pada saat mengumpulkan remah-remah sarang burung walet, saya memang tidak keluar duit, tapi tetap butuh modal, yaitu teman-teman yang mengijinkan saya memulung remah-remah dari ruang kerja mereka. Seandainya saya tidak punya modal berupa teman yang rela ruang kerjanya saya obok-obok, apakah Anda pikir saya bisa mengawali bisnis sarang burung walet?
  3. Jangan pula berani bermimpi bisa kerja enteng tapi cepat kaya. Bisnis adalah tempat di mana orang-orang harus menanam investasi terlebih dahulu, entah berwujud uang, skill, muka tembok atau apa saja sebagai modal awal, Setelah itu harus bekerja, nantang resiko dan mengatasi kesulitan, supaya investasinya membuahkan hasil, sambil berharap-harap cemas .......... semoga berhasil.
  4. Resiko gagal selalu ada, tapi jangan pernah mau kompromi dengan resiko semacam itu. Sekali kaki melangkah, pilihannya cuma satu, harus berhasil. Dua, tiga atau seratus kali terjerembab adalah hal biasa, tapi jangan digunakan sebagai alasan untuk berhenti ditengah jalan.
  5. Walaupun tergetnya harus berhasil, tapi bukan berarti terus maju melabrak segala rintangan. Adakalanya harus mengambil jalan memutar, sedikit mundur, atau bahkan mengambil jeda beberapa saat, menanti saat yang tepat untuk kembali fight.
  6. Bisnis berada dalam area “abu-abu”, dimana kiat sukses hari ini bisa menjadi bumerang dikemudian hari. Selain ketidak pastian, tidak ada yang langgeng dalam bisnis. Jadi, belajarlah bijaksana dan melatih intuisi untuk menghadapi segala ketidak pastian.



PREV - MENGAWALI BISNIS - NEXT

MULAI DARI RUMAH

Sebenarnya, mengawali bisnis dari rumah gak beda jauh dari yang punya outlet di tempat strategis. Walaupun tempat usaha punya pengaruh tapi menurut saya tidak signifikan.

Buktinya, banyak bisnis yang nongkrong di tempat-tempat seperti itu yang ambruk sebelum mencapai seumur jagung. Di Jogja ada beberapa pertokoan yang berada di tempat strategis bahkan tidak laku sama sekali. Pengusaha yang membuka lapak di sana harus gigit jari lantaran pengunjungnya terlalu sedikit.

Salah satu diantaranya adalah pertokoan Reksonegaran. Pada waktu masih menjadi pasar becek, selalu ramai dikunjungi konsumen. Kios-kios yang terletak di luar bahkan buka sampai malam dan selalu laris. Tapi setelah beberapakali renovasi, dan diubah menjadi pertokoan yang bersih, sampai hari ini tetap bersih dari pengunjung.

Adapula S***** Square yang kemudian malah ribut dengan penghuninya. Penyebabnya juga sama, sepi pengunjung. Begitu pula dengan grosir handphone dan komputer yang menempati bekas Gelael Adisucipto. Walaupun kondisinya lebih bagus, ada pembeli yang datang, tapi banyaknya penyewa yang kemudian tutup menunjukkan bahwa berniaga di tempat itu tidak memberi keuntungan yang memadai.

Sebaliknya, beberapa lokasi yang secara ukuran bisnis dianggap tidak strategis malah bisa membuat bisnis berkembang. Warung mbok Geneng terletak “nylempit” di gang kampung, tapi dikunjungi oleh orang-orang yang rela menempuh jarak jauh, nanggung resiko sulit parkir, ditambah lagi kalau apes masih harus ngantre sekedar untuk makan gudeg atau lele mangut yang sebenarnya bisa ditemukan di tempat lain.

Bisnis saya juga bermula dari emperan rumah. Yang terbukti luar biasa adalah Apple. Bisnis IT dengan logo apel krowak itu juga diawali dari garasi. Jadi, lupakan tempat darimana Anda akan mengawali bisnis. Fokus saja pada bisnis itu sendiri.

Walaupun begitu, ada satu hal penting yang harus di perhatikan bila mengawali bisnis dari rumah, yaitu jam kerja.

Orang bilang, menjadi pengusaha ibarat menikah dengan pekerjaan. Kadang bahkan istri resmi dinomer duakan demi pekerjaan. Tapi sebaiknya tidak perlu sampai seperti itu. Sesibuk apapun, tetap ada sisi kehidupan yang harus kita lindungi dari gangguan pekerjaan. Oleh sebab itu, tetapkan jam kerja utama, dimana pekerjaan memang menjadi prioritas utama. Entah eight to four atau nine to five, harus ada.

Selain untuk melindungi segala kepentingan supaya tidak saling bertabrakan, jam kerja utama penting untuk membiasakan disiplin. Kebiasaan orang yang bekerja di rumah, antara jam kerja dengan waktu tidur dan kelayapan sering kacau. Pada saat seharusnya kerja malah molor, sementara giliran harus istirahat masih kelayapan kesana kemari. Kalaupun melek di rumah, bukannya kerja tapi lebih banyak nongkrong di depan TV.

Disiplin adalah kunci utama keberhasilan. Jangan biarkan suasana rumah membuat Anda tidak disiplin.


PREV - MENGAWALI BISNIS - NEXT