Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

25 Januari 2008

WONG JADUL YANG TAKUT HUTANG


Sebenarnya saya paling males kalau harus cerita tentang diri sendiri. Untuk nulis sepenggal kalimat saja saya harus mikir lama, menghabiskan waktu, sepiring nasi dan banyak ngemil lantaran bingung mau pamer apa. Lha wong memang gak ada yang bisa dipamerkan. 

Nama saya Djati Widodo. Ditulis pakai ejaan lama, sesuai akte kelahiran, karena saya memang wong jadul. Lahir tahun 1962, anak wong Jawa tulen. 

Jangan tanya kenapa wajah saya mirip barang import dari negeri Jenghis Khan. Saya sendiri juga bingung. Dari seluruh cucu simbah, memang ada beberapa orang yang punya "penampakan" seperti saya. Dua orang memang kecampuran darah import, sementara sisanya tidak ketahuan penyebabnya. 

Dulu pernah pengin jadi arsitek, tapi nasib membawa saya ke teknik sipil Atmajaya. Akibat salah masuk gerbong dan iming-iming duit banyak setip kali habis jualan baju, akhirnya saya memilih lanjut jadi pedagang. 

Ketika bisnis saya berkembang, tahun 1987 saya kuliah di Fakultas Non Gelar Ekonomi UGM. Penginnya sih belajar bisnis, tapi lagi-lagi keliru gerbong. Sempat kecewa sebentar sebelum saya menyadari bahwa menjadi pengusaha juga wajib paham urusan administrasi perusahaan. 

Saya mulai belajar komputer tahun 1986. Komputer pertama saya cuma IBM comptible buatan Taiwan, merk MITAC, dengan kecepatan 4,7 MHz, tanpa hard disk dan hanya menggunakan monitor CGA, tapi harganya lebih mahal ketimbang sepeda motor. 

Setelah punya komputer malah membuat saya jadi bingung. Mau dipakai untuk apa? Saya sempat belajar beberapa bahasa pemrograman, bahkan lulus system analis dari salah satu lembaga pendidikan ngetop saat itu. Tapi tetap saja tidak tahu mau ngapain selain ngetik surat dan main game Buck Roger. 

Alhamdulillahnya, meskipun jalur pendidikan formal dan non formal saya gak ketahuan kiblatnya, tapi saya tetap bisa konsisten menjadi pengusaha. Meskipun kondisinya pasang surut. 

Kalau Anda bertanya, apakah saya sudah sukses jadi pengusaha? Saya tidak tahu. Atau lebih tepatnya, saya tidak perduli. Masalahnya, kebanyakan orang cuma menggunakan kekayaan sebagai parameter sukses. 

Saat krisis moneter tahun 1997, dari sekian puluh teman-teman pengusaha yang ambruk berjamaah, hanya beberapa gelintir saja, tidak lebih dari hitungan jari – termasuk saya, yang masih bisa merampungkan dekade 90 an tanpa diuber debt collector. Sebuah bukti gamblang bahwa orang-orang yang dulunya dianggap sukses karena punya harta berlimpah ternyata hidup diatas hutang. 

Belajar dari pengalaman masa lalu yang nyaris menyeret saya ke jurang hutang, sekarang saya sangat ketat membatasi hutang. Hutang kepada suplier saya batasi paling lama 2 minggu harus sudah dibayar, sementara hutang lain sebisa mungkin saya hindari. 

Setiap kali kredit kendaraan, uang muka saya bayar sampai batas maksimal dengan jangka waktu tidak lebih dari 2 tahun. Dan cicilan selalu saya bayar 2 bulan di muka. 

Teman saya bilang, saya kehilangan nyali berhutang. Padahal kata orang – entah siapa yang pernah ngomong, kalau jadi pengusaha harus berani hutang. 

Akibatnya, sehari-hari saya cuma naik motor dan rumah saya cuma begitu-begitu saja, sesuai dengan kemampuan saya membayar tunai. Mobil kreditan tidak saya pakai untuk keperluan pribadi karena kendaraan-kendaran itu dibeli pakai duit perusahaan untuk disewakan. 

Lalu ada yang bertanya, kalau saya puas dengan kehidupan yang begitu-begitu saja, buat apa jadi pengusaha? 

Pertanyaan enam tahun lalu itu sampai hari ini belum sempat saya jawab, keburu yang bertanya masuk bui lantaran menggelapkan duit orang. Seluruh hartanya ludes disita, anak istri keleleran entah di mana, sementara hutang masih menumpuk. 

Memang enak kalau endingnya seperti itu? 

Saya pernah melarat, tidak punya duit satu rupiahpun. Meskipun harus kerja keras banting tulang sekedar untuk sesuap nasi, tapi saya masih bisa hidup nyaman karena tidak diuber tukang tagih hutang. Dan sekarang hidup saya lebih nikmat karena tidak perlu mikir tagihan kartu kredit.


HOME