Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

23 Oktober 2008

MENGUMPULKAN MODAL SAMBIL JALAN

Kalau saya mengaku mengawali bisnis dengan modal seadanya, secara harfiah memang benar-benar seadanya.

Saat itu saya masih ABG, tanpa dukungan orangtua, masih ditambah introvert, pemalu – cenderung penakut, dan tidak punya uang sepeserpun.

Bingung tidak tahu harus bagaimana, setiap siang sehabis makan, saya main ke kios kelontong milik tetangga kampung. Senang saja melihat kios itu selalu ramai pembeli. Saya pengin punya kios seperti itu.

Bermula dari sekedar bengong, kemudian iseng membantu memasukkan belanjaan ke dalam kantong kertas, beberapa bulan kemudian saya diijinkan membantu menakar beras dan gula. Saya juga diperkenankan titip menjual layangan.

Dari mana modal untuk membuat layangan? Kebetulan ada tetangga membuang lincak (kursi bambu), dan kebetulan pula ayah bersih-bersih lemari. Banyak kertas doorslag bekas yang dibuang. Benang dan lem tapioka minta ibu.

Layangan laris, dutinya saya belikan yoyo dan kelereng. Maka dagangan sayapun bertambah.

Tahun 1980 saya masuk kuliah, jurusan teknik sipil. Jauh panggang dari api. Pengin punya kios tapi belajar teknik. Ternyata ada berkah di sana. Saya kuliah di Universitas Atma Jaya. Sebagian besar teman saya keturunan cina. Diantara sekian banyak yang berkecukupan, ada beberapa yang harus mengais rejeki sendiri untuk biaya kuliah. Maka, sayapun mulai punya partner bisnis.

Hanya begitu saja awal mulanya. Tanpa duit, tanpa skill, tanpa bekal apa-apa. Semua modal saya temukan sambil jalan.







PREV - MENGAWALI BISNIS - NEXT

31 Agustus 2008

UANG BRAZIL

Punya duit banyak membuat saya sedikit bebal. Baru beberapa bulan nyaris terjerembab oleh emas batangan palsu, saya kembali tergoda. Kali ini iming-imingnya datang dari uang Brazil.

Saat itu sedang istirahat siang dalam pertemuan rutin dengan beberapa relasi di Semarang. Salah seorang tiba-tiba saja nyeletuk, mulai membicarakan uang Brazil. Saya sendiri belum pernah mendengar informasi apapun mengenai uang Brazil, jadi ketika teman saya mengeluarkan fotokopi dokumen-dokumen yang sebagian diantaranya ada tandatangan dengan nama Try Sutrisno tertulis di bawahnya, saya percaya begitu saja.

Sebenarnya ada satu orang yang memberi peringatan tentang kemungkinan uang Brazil cuma bisnis bodong, tapi peringatan itu langsung tenggelam diantara nafsu serakah yang lebih dominan. Menjelang bubaran pertemuan, sekali lagi secara pribadi saya mendapat peringatan. Tapi dasar bebal, peringatan itu lewat begitu saja dari kuping kiri langsung keluar kuping kanan tanpa mampir di otak. Apalagi diantara orang-orang yang berminat pada uang Brazil terdapat satu notaris dan satu pengacara. Pikir saya, tidak mungkin orang-orang pinter hukum itu bisa tertipu bisnis bodong.

Dua hari kemudian perburuan dimulai. Kejadiannya persis sama seperti ketika saya memburu emas batangan. Orang-orang yang kami jumpai juga tidak lebih dari perantara belaka. Sampai bulan kedua bahkan uangnya belum ketahuan disimpan di mana.

Uang Brazil, atau lebih sering disebut UB, dijual paketan. Harga satu paket sekitar Rp 500 juta, dan konon, menurut fotokopi dokumen negara yang saya baca, pemerintah Amerika bersedia membeli kembali dengan harga 1,5 milyar. Menurut kesepakatan umum yang berlaku saat itu, dari 1 milyar keuntungan, 500 juta dibagi rata seluruh perantara, dan sisanya menjadi hak investor.

Seandainya Anda ingat lagu ciptaan Gombloh: “Kalau cinta melekat, tai kucing serasa coklat.”. Yang kami alami juga mirip-mirip seperti itu. Bisnis UB yang semestinya tercium busuk juga serasa coklat. Dan sama seperti ABG dimabuk cinta, nalar kamipun mampet habis. Perburuan selama 4 bulan lebih tanpa hasil bukannya membuat kami waspada, justru menjadi tantangan.

Dan akhirnya, “Ada tiga paket. Satu di Muntilan, dua di Grobogan.”

Semua berjingkrakan, kecuali saya. Entah kenapa, hampir seluruh dana yang saya miliki tertahan sebagai piutang dan persediaan dalam waktu bersamaan. Biasanya selalu ada sisa dalam jumlah lumayan sebagai dana talangan. Jadi seharusnya saya bisa ikut patungan untuk setengah paket. Tapi sampai batas terakhir, saya hanya bisa mengumpulkan 35 juta. Sangat jauh dari cukup.

Pada jam-jam terakhir ada tawaran dana talangan. Tapi saya tolak. Saya belum pernah berhutang dalam jumlah besar. Disamping itu, pikiran saya mulai bimbang setelah hampir semalaman beberapa teman yang tidak percaya UB mencecar saya dengan berbagai informasi negatif mengenai UB.

“Memangnya duit itu mau diserahkan pada siapa? BI? Departemen Keuangan? Try Sutrisno itu siapa? Darimana kamu bisa yakin kalau dokumen itu bukan rekayasa dan nama Wapres Try Sutrisno tidak dicatut?…………… “

Dan yang membuat saya semakin bimbang, salah satu teman berhasil membubuhkan tandatangan, mirip yang saya lihat pada fotokopi dokumen negara, di kertas kalender. Saat itu teknologi scanner, printer laser atau buble jet belum semarak saat ini. Jadi kalau ada yang bisa berbuat seperti itu, sangat luar biasa.

Begitu beratnya perang batin dalam diri saya sampai membuat saya jatuh sakit selama beberapa hari. Ada rasa sesal karena saya melepas begitu saja peluang untuk mendapat keuntungan besar. Peluang istimewa yang barangkali hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Saya kecewa dan marah. Tapi pada siapa? Saya sendiri yang memutuskan mundur. Saya juga yang menolak dana talangan.

Atas saran dokter, untuk mengurangi tekanan batin, saya kembali aktif di kios. Ikut membongkar beras dari truk, kembali ngider jualan beras, membantu mengemas gula pasir, jaga kios sampai malam, nyablon kantong kemasan. Tapi sulit. Penyesalan saya terlanjur merasuk sampai kesumsum tulang.

Suatu hari, keajaiban itu datang tanpa diundang. Berkah bagi saya, tapi malapetaka buat teman-teman. Saya menerima guntingan berita koran tentang penipuan menggunakan uang Brazil. Dan diantara nama-nama korban yang tertulis di situ terdapat beberapa nama yang saya kenal.

Sudah cukup lama saya tidak ketemu para pemburu UB itu. Terakhir saya menerima telepon ketika mereka sedang merayakan keberhasilan mendapatkan tiga paket. Telepon itu yang kemudian membuat saya menyesal tujuh turunan dan jatuh sakit. Tapi setelah membaca berita di koran, penyesalan saya pupus, dan seketika itu juga saya kembali sehat.

Secara keseluruhan, dalam perburuan UB itu saya kehilangan lebih dari 9 juta, tidak termasuk biaya Rumahsakit, dokter dan nebus obat. Terlalu besar untuk harga sebuah kebodohan. Semoga tidak terulang lagi.



21 Agustus 2008

SEKEDAR CERITA

Selain menjalankan sholat berjamaah, saya juga pernah nglakoni bangkrut berjamaah. Tahun 1996, semuanya lebih dari 16 orang dari berbagai kota disekitar Yogya, tanpa kompromi bangkrut bareng. Itu karena bisnis kami, berniaga sarang burung walet, saling terkait antara satu dengan yang lain. Sampai saat ini tidak ada yang tahu secara pasti, apa pemicunya. Tahu-tahu semua ambruk begitu saja seperti rumah-rumah di Yogya yang porak poranda terkena gempa tanggal 27 Mei tahun 2006 lalu.

Saya shok berat ketika sadar tidak ada lagi yang tersisa dari seluruh aset saya. Tapi sebenarnya saya masih beruntung. Walaupun semuanya ludes, tidak sampai meninggalkan hutang satu rupiahpun. Bahkan menurut hitungan, sebenarnya masih ada piutang yang tersisa. Cuma, orang-orang yang berhutang sudah tidak ketahuan lagi rimbanya. Satu orang meninggal jantungan. Yang lain, entah ngumpet atau ditelan bumi, saya tidak tahu.

Diantara sekian banyak orang, tinggal satu yang masih bisa saya temui. Kami melewati masa-masa sulit bersama. Kadang cuma saling diam, lain kali bercanda, tapi adakalanya sampai ribut berantem, saling menyalahkan. Namanya juga lagi stress.

Selain bisnis sarang burung walet, saat itu saya punya kios kelontong. Ketika bisnis walet kolaps kiosnya katut ambruk, dan akhirnya, Desember tahun 98 kios terpaksa ditutup.

Kalau dihitung-hitung mulai dari pertengahan 96 sampai saat kios ditutup, cukup lama saya bersandiwara dihadapan semua orang, berlagak jadi orang waras, padahal setiap hari pikiran saya semakin kacau saja.

Setelah itu saya sempat nganggur beberapa minggu, sebelum akhirnya mencoba berjualan plastik keliling. Terpaksa sih, karena kami berdua sama-sama pengantin baru. Saya menikah bulan Juni 1998, teman saya 2 bulan kemudian. Gila ya? Bangkrut tapi berani nikah.

Tanpa sadar kalau sesungguhnya sedang bersaing, saya dan teman yang cuma bersisa satu itu kemana-mana selalu bersama. Akibatnya, sehari-hari kami cuma bisa menjual sedikit. Saking sedikitnya, sampai untuk beli makan siangpun tidak ada uang - Kan uangnya buat yang di rumah. Terpaksa setiap siang perut diganjal pakai sebotol besar air putih.

Karena jualan plastik tidak memberi hasil, saya mencari lahan lain. Kebetulan ada teman di Jakarta membutuhkan pasokan beras raja lele. Kami lalu jalan sendiri-sendiri, dan setelah itu tidak pernah ketemu lagi.

20 Desember 2008 lalu tepat 10 tahun kios saya tutup. Iseng, saya lewat depan bekas kios. Keadaan sudah jauh berbeda. Bangunan kiosnya berubah menjadi toko, dan jalan didepan menjadi ramai. Alhamdulillah, kehidupan saya juga menjadi lebih baik./span>


25 Juli 2008

SEKILAS TENTANG RESIKO

Suatu hari tampilan smallispowerful.blogspot.com mendadak berantakan. Perasaan, saya tidak melakukan kesalahan saat terakhir kali ngoprek source codenya. Dan seperti biasa setiap kali selesai oprek, sempat beberapa kali dicoba log ini-log out, gak ada masalah. Di catatan oprekan juga tidak saya temukan sesuatu yang pantas dicurigai sebagai tersangka biang kerok. 

Maka, ketika sampai 3 bulan kemudian saya belum bisa berbuat sesuatu untuk mengembalikan tampilannya, dengan berat hati terpaksa saya memutuskan bedol blog. 

Semula sempat ada gagasan untuk menggunakan template dari bloger, supaya kalau terjadi masalah lagi gampang recoverynya. Tapi setelah mencoba beberapa template dan ternyata gak ada yang saya rasa pas, akhirnya terpaksa kembali menggunakan template gratis bikinan Dzignine. 

Lalu, bagaimana kalau berantakan lagi? 

Yaaaahhhh, bagaimana nanti sajalah. Anggap saja sebagai resiko. Lha wong bernafas saja ada resikonya, mosok ngubeg-ubeg struktur blog bikinan orang gak mau menghadapi resiko?

Anda gak percaya kalau bernafaspun ada resikonya? Tetangga saya tewas justru gara-gara bernafas. Dia terpaksa kehilangan nyawa karena menghirup gas beracun saat menggali sumur. 

Nah, lho, kalau akifitas yang bahkan bisa dikerjakan oleh bayi saja tenyata juga nantang resiko sampai begtu fatal, apakah sekarang Anda masih percaya dengan iming-iming bisnis tanpa resiko? 

Kalaupun ada bisnis yang selalu mendatangkan untung, tetap saja ada resikonya. Ketika perusahaan berkembang dan punya banyak kekayaan, ada resiko lain yang harus dihadapi, kesrimpet pajak. 

Kesimpulannya, apapun yang kita kerjakan, selalu ada resikonya. Jadi jangan sekali-kali bermimpi bisa menghindar. Resiko menjadi besar atau kecil, relatif, tergantung nyali orang yang menghadapi. 

Ketika saya menentukan pilihan menjadi pengusaha, saya memutuskan untuk tidak perduli lagi pada resiko. Yang saya kerjakan cuma melatih nyali supaya kalau suatu saat ketemu resiko, tidak klepek-klepek. 

Masalah mencari jalan keluar, itu urusan belakang. Yang paling utama, jangan sampai keok sebelum bertempur hanya gara-gara tidak punya nyali. 

Bagaimana cara menyapkan nyali supaya tidak gampang klepek-klepek? 

Jangan tanya saya, wong sampai sekarangpun saya masih sering klepek-klepek. Hanya saja, meskipun jantung sampai empot-empotan, saya tidak pernah menyerah. Kalau terpaksa sampai ngompolpun saya tetap akan berjuang dengan celana basah – Masalahnya, lebih enak berjuang sambil ngompol ketimbang sampai titik darah penghabisan. (Memangnya kalau darah kita habis, masih bisa berjuang?).


HOME

25 Januari 2008

WONG JADUL YANG TAKUT HUTANG


Sebenarnya saya paling males kalau harus cerita tentang diri sendiri. Untuk nulis sepenggal kalimat saja saya harus mikir lama, menghabiskan waktu, sepiring nasi dan banyak ngemil lantaran bingung mau pamer apa. Lha wong memang gak ada yang bisa dipamerkan. 

Nama saya Djati Widodo. Ditulis pakai ejaan lama, sesuai akte kelahiran, karena saya memang wong jadul. Lahir tahun 1962, anak wong Jawa tulen. 

Jangan tanya kenapa wajah saya mirip barang import dari negeri Jenghis Khan. Saya sendiri juga bingung. Dari seluruh cucu simbah, memang ada beberapa orang yang punya "penampakan" seperti saya. Dua orang memang kecampuran darah import, sementara sisanya tidak ketahuan penyebabnya. 

Dulu pernah pengin jadi arsitek, tapi nasib membawa saya ke teknik sipil Atmajaya. Akibat salah masuk gerbong dan iming-iming duit banyak setip kali habis jualan baju, akhirnya saya memilih lanjut jadi pedagang. 

Ketika bisnis saya berkembang, tahun 1987 saya kuliah di Fakultas Non Gelar Ekonomi UGM. Penginnya sih belajar bisnis, tapi lagi-lagi keliru gerbong. Sempat kecewa sebentar sebelum saya menyadari bahwa menjadi pengusaha juga wajib paham urusan administrasi perusahaan. 

Saya mulai belajar komputer tahun 1986. Komputer pertama saya cuma IBM comptible buatan Taiwan, merk MITAC, dengan kecepatan 4,7 MHz, tanpa hard disk dan hanya menggunakan monitor CGA, tapi harganya lebih mahal ketimbang sepeda motor. 

Setelah punya komputer malah membuat saya jadi bingung. Mau dipakai untuk apa? Saya sempat belajar beberapa bahasa pemrograman, bahkan lulus system analis dari salah satu lembaga pendidikan ngetop saat itu. Tapi tetap saja tidak tahu mau ngapain selain ngetik surat dan main game Buck Roger. 

Alhamdulillahnya, meskipun jalur pendidikan formal dan non formal saya gak ketahuan kiblatnya, tapi saya tetap bisa konsisten menjadi pengusaha. Meskipun kondisinya pasang surut. 

Kalau Anda bertanya, apakah saya sudah sukses jadi pengusaha? Saya tidak tahu. Atau lebih tepatnya, saya tidak perduli. Masalahnya, kebanyakan orang cuma menggunakan kekayaan sebagai parameter sukses. 

Saat krisis moneter tahun 1997, dari sekian puluh teman-teman pengusaha yang ambruk berjamaah, hanya beberapa gelintir saja, tidak lebih dari hitungan jari – termasuk saya, yang masih bisa merampungkan dekade 90 an tanpa diuber debt collector. Sebuah bukti gamblang bahwa orang-orang yang dulunya dianggap sukses karena punya harta berlimpah ternyata hidup diatas hutang. 

Belajar dari pengalaman masa lalu yang nyaris menyeret saya ke jurang hutang, sekarang saya sangat ketat membatasi hutang. Hutang kepada suplier saya batasi paling lama 2 minggu harus sudah dibayar, sementara hutang lain sebisa mungkin saya hindari. 

Setiap kali kredit kendaraan, uang muka saya bayar sampai batas maksimal dengan jangka waktu tidak lebih dari 2 tahun. Dan cicilan selalu saya bayar 2 bulan di muka. 

Teman saya bilang, saya kehilangan nyali berhutang. Padahal kata orang – entah siapa yang pernah ngomong, kalau jadi pengusaha harus berani hutang. 

Akibatnya, sehari-hari saya cuma naik motor dan rumah saya cuma begitu-begitu saja, sesuai dengan kemampuan saya membayar tunai. Mobil kreditan tidak saya pakai untuk keperluan pribadi karena kendaraan-kendaran itu dibeli pakai duit perusahaan untuk disewakan. 

Lalu ada yang bertanya, kalau saya puas dengan kehidupan yang begitu-begitu saja, buat apa jadi pengusaha? 

Pertanyaan enam tahun lalu itu sampai hari ini belum sempat saya jawab, keburu yang bertanya masuk bui lantaran menggelapkan duit orang. Seluruh hartanya ludes disita, anak istri keleleran entah di mana, sementara hutang masih menumpuk. 

Memang enak kalau endingnya seperti itu? 

Saya pernah melarat, tidak punya duit satu rupiahpun. Meskipun harus kerja keras banting tulang sekedar untuk sesuap nasi, tapi saya masih bisa hidup nyaman karena tidak diuber tukang tagih hutang. Dan sekarang hidup saya lebih nikmat karena tidak perlu mikir tagihan kartu kredit.


HOME