Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

20 September 2009

SEBENARNYA TIDAK SULIT

Walaupun dana saya mepet, kegagalan tidak pernah menjadi masalah buat saya. Semua sudah diperhitungkan. Yang mengganggu justru reaksi lingkungan. Teman-teman mentertawakan ide saya budidaya belut, yang mereka anggap konyol. Setelah kegagalan itu, saya selalu ketemu banyak konsultan dadakan yang memberi nasehat tentang sisi negatifnya budidaya belut. Tidak ketinggalan pula saya mendapat kiriman segepok artikel media masa yang mengulas potensi semu pasar belut. Intinya, menurut mereka, belut tidak layak dan tidak mungkin dibudidayakan. Dan – masih menurut mereka, saya terlalu bego sampai terbujuk oleh informasi sesat yang sengaja disebar oleh penyelenggara bisnis pelatihan.

Dari komunitas korban budidaya jangkrik saya pernah menerima kliping berita penipuan yang dilakukan oleh salah satu asosiasi peternak jangkrik terhadap berbagai pihak, termasuk beberapa pemerintah daerah. Karena tidak ada kelanjutannya, saya tidak tahu apakah berita itu benar atau sekedar black campaign dari para pesaing asosiasi. Tapi yang jelas, sampai saat ini saya masih menjumpai banyak pembudidaya jangkrik yang berhasil sukses, meskipun yang gagal justru jauh lebih banyak.

Kalau komoditi yang hanya dikonsumsi burung saja bisa memberi hasil, kenapa belut yang dikonsumsi manusia dibilang tidak layak? Diamping itu, saya gagal bukan lantaran hasil panen saya tidak laku, melainkan karena malas menyiapkan pakan alami.

Setelah semua kesalahan yang sekiranya saya lakukan dan mungkin akan saya lakukan lagi sudah lengkap didata dan dicari solusinya, saya memutuskan jalan terus. Sayang, dengan berbagai alasan, teman saya memilih mundur. Tanpa teman, dengan kendala psikologis yang tidak mudah diajak kompromi, budidaya belut jelas bukan sekedar sulit lagi bagi saya. Walaupun saya tetap akan mencincang bekicot sendiri, tapi saya butuh teman sekedar untuk berbagi merinding sebelum mulai menjagal.

Setelah hampir dua bulan mencari partner dan ternyata tidak nemu satupun yang saya anggap cocok, akhirnya saya memutuskan jalan sendiri. Benar saja, tanpa teman kerja, saya merasakan teror berlipat dibanding sebelumnya. Benar-benar tiada hari tanpa merinding. Adakalanya saya nyaris berhenti budidaya bukan karena mengalami kesulitan atau ogah pegang belut atau cacing, melainkan semakin iba melihat bekicot dan cacing-cacing yang harus saya bantai. Semakin lama menjadi algojo, saya justru menjadi semakin sensitif terhadap binatang.

Ingin rasanya mengupah orang untuk melakukan pekerjaan horor itu, meskipun secara finansial tidak layak karena hanya menghidupi belut dua tong saja. Tapi seperti biasa , saya merasa harus mengerjakan sendiri dulu sampai berhasil sebelum menyuruh orang lain. Bukan apa-apa. Saya tergolong orang cerewet, dan saya tidak mau nantinya ada yang ngomel, “biasanya omong doang!”

Kali ini saya benar-benar ketemu batunya. Belum pernah ada bisnis yang sampai makan hati seperti ini. Saya yang oleh banyak orang dijuluki kapitalis tulen lantaran tega menagih piutang sampai sen terakhir dibuat tidak berkutik oleh cacing dan bekicot. Pada akhirnya saya memang berhasil memaksa diri menyelesaikan pekerjaan sampai panen, tapi kemudian kehilangan semangat ketika tiba saatnya harus menjual hasil panen. Saya terima begitu saja uang yang diberikan oleh pembeli, tanpa dihitung lagi apakah nilainya sesuai dengan jumlah belut yang terjual.

Kali ini budidayanya berhasil, tapi secara keseluruhan saya justru merasa gagal.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

02 September 2009

EMAS VOC

Menjadi bos bagi diri sendiri, pegang duit banyak, tanpa ada seorangpun yang mengontrol, bisa jadi bumerang. Godaan datang setiap saat. Kalau tidak tertib dan disiplin menahan diri, duit bisa terbang kesana kemari dan akhirnya ludes tanpa bekas. Atau paling tidak, perputaran usaha menjadi terseok-seok, hutang numpuk dan sulit membayar kewajiban.

Saya sedikit beruntung, godaan baru datang setelah saya punya sisa dana sebagai cadangan, sehingga tidak mengganggu kelancaran usaha. Tapi kalau diingat-ingat, tetap saja terasa konyol.

Suatu hari, salah satu pedagang sarang burung walet mampir ke rumah. Kali itu tidak membawa sarang burung, melainkan satu batang benda terbuat dari logam, berwarna kuning cerah, kurang lebih seukuran separo batu bata dibelah memanjang.

“Ini emas peninggalan VOC”

Memang ada huruf V, O dan C tercetak timbul membentuk logo VOC seperti yang sering saya lihat di buku sejarah.

“Semuanya ada satu ton.”

Busyet, kadal buntung. Siapa pula yang punya emas satu ton?

“Cuma empat ribu lima ratus per gram. Saya ikut sampeyan.”

Harga emas saat itu kalau tidak salah sekitar dua belas ribuan. Kalau yang ini harganya Rp 4.500 ………….. Menurut timbangan beras, batangan logam kuning itu punya berat 1 ons. Ups, mata saya hampir copot. Tidak perlu dibantu kalkulator, saya langsung bisa menghitung berapa keuntungan yang bakal saya dapat seandainya ……… Tanpa sadar, saya mulai menjadi rakus, dan saat itu pula nalar saya ketinggalan kereta.

“Tapi 1 ton harus dibeli semua, bos!”

Edan, duit embahmu po? Tapi lagi-lagi nalar saya sudah semakin jauh ketinggalan kereta. Dan sejuta gram emas itu tidak kepikiran lagi jumlah duitnya. Yang ada di kepala saya cuma untung, untung dan untung. Gede lagi!

Tidak berapa lama beberapa teman segera kumpul, dan kamipun langsung membahas “proyek besar”. Kesimpulan akhir memutuskan mencari investor. Dan itu tidak sulit. Menjelang malam sudah ada 6 investor bersedia bergabung. Total jenderal malam itu ada sebelas orang yang kehilangan nalar. Lalu keesokan harinya bertambah lagi menjadi tujuh belas setelah kami mendapatkan calon pembeli.

Agendapun disusun. Hari berikutnya empat diantara kami, terasuk saya, berangkat ke kelurahan Puring, Kebumen, untuk menemui pemilik emas. Pagi buta kami berangkat. Berkat semangat untung gede, hanya butuh waktu kurang dari dua jam untuk menempuh jarak sekitar 140 kilometer.

Walaupun akhirnya kami harus nongkrong di mobil hampir seharian, menunggu pemilik emas pulang kantor, tapi berhubung nalar sudah ketinggalan entah di mana, sesuatu yang mestinya terasa janggal jadi no problemo. Kami enjoy saja keleleran di seputar teras rumah.

Menjelang sore orang yang ditunggu baru nongol, dan ternyata dia bukan pemilk emas, tapi “tahu orang yang punya kuasa menjual emas”. Mestinya, ya, mestinya, saya segera sadar kalau ada yang janggal. Tapi bahkan sampai 2 hari kemudian, ketika kami masih saja selalu ketemu orang-orang yang ternyata hanya midle man, tidak satupun merasa aneh dengan transaksi yang mulai berbelit itu.

Hari ke 3 kami berada di nGawi, Jawa Timur. Dan terpaksa minta dikirim satu mobil lagi karena Panther Miyabi yang kami bawa tidak bisa menampung lebih dari 7 orang. Dari tempat satu ke tempat berikutnya penumpang selalu bertambah. Mereka semua makelar. Bahkan 2 hari kemudian, sampai mobil ke dua penuh, dan kami sudah menempuh jarak entah berapa ratus kilometer, pemilik atau orang yang konon punya kuasa jual belum ketemu.

Saya mulai jengkel, lalu memutuskan pulang. Para makelar itu saya lepas begitu saja disepanjang perjalanan balik ke Yogya. Tentu saja saya harus memberi sekedar uang transport. Tapi saya tidak keberatan karena batangan seberat satu ons boleh saya bawa.

Mestinya, sekali lagi, mestinya, saya harus curiga. Kalau itu emas betulan, mana mungkin pemiliknya melepas begitu saja tanpa ada jaminan? Apalagi melewati begitu banyak tangan. Padahal, saya sendiri bisa kalap tidak karuan ketika buku yang dipinjam teman dipinjamkan lagi pada orang lain yang tidak saya kenal.

Batangan kuning itu berada ditangan saya kurang lebih sekitar 2 minggu sebelum akhirnya saya mendapat kontak dari seseorang yang mengaku sebagai pemegang kuasa jual. Kalau Anda pikir orangnya segagah para konglomerat, Anda keliru besar. Penampilannya sedikit agak kumel, rambut acak-acakan seolah sudah lama tidak tersentuh sisir, kulit hitam legam terbakar sinar matahari dan telapak tangannya lebih kasar dari tangan tukang aduk semen di proyek pelebaran jalan depan kios. Orang itu datang naik bis kota setelah menempuh perjalanan dari Klaten juga mengunakan bis umum.

Klaten? Berhari-hari saya menempuh perjalanan jauh, muter-muter kesana kemari, ternyata yang dicari malah ngumpetnya cuma di Klaten. Hanya berjarak 47 kilometer dari kios. Edan.

Melihat penampilan pemegang kuasa jual yang tidak begitu meyakinkan, walaupun orang itu menunjukkan segepok dokumen, akal sehat saya mulai pulih. Dan saya memutuskan mundur pada saat teman-teman, yang jumlahnya semakin banyak, rame-rame berangkat ke Klaten.

Dua hari kemudian saya sempat menerima telepon dari rombongan yang ternyata sudah berada di Madura. Dalam bahasa polisi, informasinya A1 – tepat dan akurat. Barang positif ada. Mereka semua sudah melihat – dan untuk bisa melihat itu ternyata mereka harus bayar mahar 25 juta. Disaat pikiran mulai kacau dan nalar mulai surut, entah nemu ide dari mana, saya membawa emas batangan yang ternyata masih tertinggal di rumah, ke toko emas langganan keluarga.

Wajah pemilik toko nampak penuh derita setelah melihat batangan yang saya sodorkan. Lalu, setelah penampilan memelas itu reda, bak anak balita, saya digandeng masuk ke ruang kerja di balik dinding kaca. Ketika sampai di dalam, saya sempat melihat beberapa karyawan di luar nampak cekikikan.

“Ini punyaku.” Pemilik toko menunjukkan batangan berwarna kuning. Lebih mengkilap dan ukurannya lebih kecil. “Kamu pasti masih ingat pelajaran fisika di SMP, berat sama dengan volume dikali berat jenis. Kalau beratnya sama, volumenya lebih besar ……. ”

Saya tidak memerlukan penjelasan lebih jauh untuk segera menyadari bahwa logam kuning yang saya bawa bukan emas. Dan saya terpaksa harus rela saat pemilik toko akhirnya ngakak sampai wajahnya merah. Ternyata, wajah memelas tadi lantaran dia mati-matian menahan tertawa.

Saat Itu telepon seluler masih menggunakan teknoligi AMPS. Coverage areanya terbatas, dan jelas Madura belum terjangkau. Jadi saya tidak bisa berbuat banyak untuk memberi peringatan pada kawan-kawan di sana. Untungnya, saat itu prosedur bank masih ribet, ATM juga terbatas dan satu-satunya bank yang memiliki cabang sampai pelosok hanya BRI. Jadi teman-teman harus pulang ke Yogya dulu untuk transfer ke BRI, sehingga saya bisa mencegah mereka mengalami rugi besar-besaran. Saya sendiri menghabiskan lebih dari satu juta untuk biaya perjalanan awal