POST TERAKHIR

06 September 2010

IN THE MIDDLE OF NO WHERE

Akhir 1989 saya diajak teman membuka warung kelontong. Saya setuju. Saya senang, tapi sekaligus bingung. Saat itu saya hanya punya beras. Jumlah stoknya memang lumayan banyak, karena selain menjual eceran, saya juga menjadi grosir. Tapi, mosok buka warung cuma jualan beras?

Di pasar memang banyak warung yang hanya menjual beras. Tapi, di luar pasar, bahkan jauh dari pasar, kalau hanya jual beras, buat apa buka warung? Di urus dari rumah saja omsetnya sudah lumayan. Sementara kalau buka warung belum tentu ada peningkatan.

Tapi entah kenapa, saat itu saya nurut saja kata teman, lalu dengan dana seadanya, menyewa kios. Kios itu terletak di pinggir jalan Monumen Yogya Kembali. Lokasinya strategis, selalu ramai mulai dari pagi buta sampai tengah malam. Berada di jalur utama menuju sejumlah perumahan, dan disekitar kios itu sendiri berkembang menjadi daerah pertokoan yang sangat menguntungkan.

Tapi itu semua adalah kondisi sekarang, Tahun 2010. Tahun 89, saya bahkan bisa tidur seharian di tengah jalan tanpa terlindas apapun, karena jalan yang saat itu cuma selebar badan truk dan lebih mirip kali kering memang super sepi. Kalaupun ada yang lewat paling hanya gerobag sapi, sepeda atau kendaraan yang kesasar. Ring road di sebelah utara bahkan belum dipasang patok-patoknya, apalagi hotel Hyatt. Saking ndesonya, berada disitu serasa sudah dekat dengan puncak Merapi.

Ibu saya yang biasanya positive thinking bahkan sampai unjal ambegan – sesak nafas, melihat lokasi kios yang in the midle of no where. Secara kasat mata benar-benar hopeless.

Dan lebih hopeless lagi ketika teman saya buka kartu mengenai alasan dia memilih tempat itu: “anaknya cakep!”. Maksud teman saya, pemilik kiosnya punya anak cewek, cakep.

@%$*&!@^%?$72>!!!!!!!! …………….. Kalkulator saya langsung error.

Setelah kalkulator saya pulih, dengan semangat “terlanjur kelelep”, mau tidak mau, warung harus di buka. Sebagai pelengkap dagangan, dijual juga obat nyamuk, mie instant, sabun cuci dan sabun mandi, pasta gigi, dan rokok. Tapi lantaran modal mepet, jumlah persediaan setiap item hanya beberapa biji saja, dan selalu ludes dalam dua tiga hari.

Tapi saya tidak menyesal kesasar sampai ke situ. Insting saya terbukti benar. Walaupun sampai saat saya tutup beberapa tahun kemudian warung itu tetap menjadi single fighter di daerah itu, tidak bisa saya ingkari bahwa bisnis saya tumbuh dan berkembang dari kios berukuran 3x3 itu. Dari tempat itulah saya mendapatkan segala pengalaman bisnis yang terbaik, mulai dari ditipu, dikadali, diporoti sampai keliru jadi target buron polisi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar