Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

02 Februari 2010

REPOTNYA PPH PASAL 23

Mulai Januari 2010 banyak customer berbadan hukum memotong PPh Pasal 23 terhadap setiap pembayaran yang saya terima. Saya tidak keberatan, karena memang seharusnya seperti itu. Hanya saja, sebagian besar pemotong pajak sering suka-suka dalam melaksanakan kewajibannya.


Entah ide siapa, tarif PPh pasal 23 sewa kendaraan yang semestinya ditanggung penyedia jasa sebesar 2%, dipotong dari tagihan netto, oleh kebanyakan pemotong diubah menjadi 2%, dipotong dari tagihan netto setelah ditambah 3%.

Para staff yang minimal bergelar Sarjana Ekonomi itu selalu minta saya menambahkan 3% pada jumlah netto yang saya tagihkan. Alih-alih saya yang harus membayar pajak, justru mereka dengan sukarela mengambil oper porsi saya. Oleh sebab itu mereka juga menolak menerbitkan bukti potong pajak. Bukan cuma menggelikan, tapi luar biasa bego. Hebatnya, yang berbuat seperti itu justru perusahaan besar yang memiliki staff keuangan dan staff akuntansi berpendidikan.

Lebih konyol lagi, ketika saya mencoba memberi penjelasan bahwa PPh Pasal 23 adalah beban saya dan bisa langsung dipotongkan dari tagihan netto tanpa perlu ada tambahan 3%, mereka malah ngotot. Bahkan ada yang dengan sengitnya menyarankan supaya saya belajar pajak. Tidak sedikit pula yang heran, “Dibayarin pajaknya kok malah gak mau!”

Kalau sudah begitu saya mesti berlapang dada, supaya pembicaraan tidak menjadi tegang hanya lantaran ada yang tersinggung, merasa dianggap tidak tahu pajak.

Biasanya saya lalu menggunakan jurus intimidasi. Saya bilang, kalau nominal yang disetor tidak sesuai dengan tagihan netto yang sesungguhnya, mereka bisa dianggap berusaha mengelabuhi pajak. Jurus ini kebanyakan berhasil – bukti bahwa orang-orang itu memang tidak paham pajak.

Kalau ada diantara pembaca yang bingung, kenapa saya menolak PPh pasal 23 dibayar oleh customer, berikut ini penjelasannya:

Menurut peraturannya, PPh pasal 23 dipotong langsung sebesar 2% dari total tagihan netto (Tagihan brutto dikurangi discount – kalau ada). Kalau tagihan kemudian ditambah 3% sesuai permintaan customer, baru kemudian dipotong 2% untuk disetor sebagai PPh Pasal 23, maka setoran Pph itu menjadi tidak sesuai lagi dengan nominal tagihan netto dalam pembukuan.

Misalnya, tagihan netto sesungguhnya Rp 1 juta. Menurut peraturan, PPh yang dipotong dan disetor oleh customer mestinya sebesar Rp 20 ribu. Jumlah yang saya terima dari customer menjadi Rp 980 ribu. Di buku ditulis sebagai berikut:

- penjualan (atau piutang) Rp 1 juta (KREDIT)
- PPh pasal 23 Rp 20 ribu (DEBET)
- Kas atau piutang Rp 980 ribu (DEBET)
Neraca balans.

Kalau tagihan netto ditambah 3%, menjadi Rp 1.030.000, saat membuat invoice saja sudah muncul masalah. Angka Rp 30 ribu itu dari mana asalnya? Kalau berdasar rincian dalam invoice hanya ketemu tagihan sebesar Rp 1 juta, bagaimana pula cara menambahkan yang Rp 30 ribu?

Selanjutnya, sementara dalam pembukuan nilai penjualan tetap tercatat Rp 1 juta (kredit), sesuai hasil hitungan invoice, pada sisi debet terdapat setoran PPh pasal 23 sebesar Rp 21.000 dan penerimaan tunai (atau piutang) sebesar Rp 1 juta. NERACA TIDAK BALANS. Disamping itu, setoran PPh 23 sebesar Rp 21 ribu tidak klop dengan nilai penjualan yang hanya 1 juta.

Selisih sedikit untuk satu transaksi memang tidak berarti, tapi bagaimana kalau semua customer memotong PPh 23 dengan cara yang sama? Minimal neraca akhir tahun jelas tidak mungkin balans. Kalau di buku saja sudah kacau, bagaimana riilnya?


PREV - MABUK PAJAK - NEXT