Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

11 September 2010

BEGINILAH SAYA DULU MULAI

Beras pertama yang saya jual saya beli dari kios beras ‘Fanda” di pasar Lempuyangan. Tahunnya saya lupa, tapi saya ingat betul kali itu untuk membeli 50 Kg beras Jawa Super – kualitas paling mulus di bawah Raja Lele, saya hanya membayar Rp 18.750. Saya beli 10 karung. Total 500 Kg atau setengah ton - tapi saya lebih suka bilang setengah ton karena 500 Kg membuat saya selalu merasa kenyang.

Ini adalah kebodohan bisnis saya yang pertama. Belum tahu mau dijual kemana, sudah berani nyimpen stok begitu banyak.

Awal mulanya saya ngider dari rumah ke rumah. Pertamakali melakukan rasanya senang-senang saja, tapi hari-hari berikutnya sangat membosankan. Beras tidak selalu laku, kehujanan, kepanasan, sering digonggong anjing, dan kadang juga digoda babu. Belum lagi profitnya hanya Rp 5 per kilo. Kalau sehari laku 20 kilo, cuma dapat cepek. Kapan bisa kaya? Benar saja, sampai 7 hari kemudian baru terjual 80 kilo. Sementara sisanya mulai berbau apeg dan ada satu dua ekor kutu terlihat kelayapan di sela-sela beras.

Saya panik. Pemula memang selalu begitu. Berangkat dengan semangat menggebu, tapi langsung keder ketika yang terjadi tidak sesuai skenario. Lewat dua minggu kondisi beras semakin amburadul. Jumlahnya sedikit menyusut karena sebagian dimasak ibu – Entah apa jadinya seandainya ayah saya tahu dikasih makan nasi yang berasal dari beras lepek.

Hari ke dua puluh, dengan perasaan putus asa plus malu setengah mati, saya memberanikan diri kembali ke toko Fanda. Niat saya, semua beras yang sudah tidak layak konsumsi itu saya jual lagi sebagai beras “jatah” – istilah yang umum saat itu bagi beras yang diterima oleh pegawai negeri. Kualitasnya sedikit amit-amit, banyak kutu, dan kebanyakan sudah tidak layak konsumsi.

Nasib saya mujur, pemilik toko tidak mentertawakan saya, bahkan untuk selanjutnya bersedia membantu. Saya bisa membeli berapa saja sesuai jumlah yang saya perlukan dengan harga grosir. Sepuluh kilopun jadi. Setelah itu saya bahkan diajar cara membedakan antara beras yang bakal menjadi nasi enak dengan beras yang nasinya cepat basi.

Benar-benar awal karier yang tidak mudah dan samasekali jauh dari menyenangkan. Itupun masih ditambah harus kucing-kucigan dengan ayah yang tidak setuju saya berdagang.

Sampai sekarang saya sendiri heran, bagaimana mungkin saya bisa bertahan sampai empat tahun lebih dengan kondisi sengsara seperti itu


06 September 2010

IN THE MIDDLE OF NO WHERE

Akhir 1989 saya diajak teman membuka warung kelontong. Saya setuju. Saya senang, tapi sekaligus bingung. Saat itu saya hanya punya beras. Jumlah stoknya memang lumayan banyak, karena selain menjual eceran, saya juga menjadi grosir. Tapi, mosok buka warung cuma jualan beras?

Di pasar memang banyak warung yang hanya menjual beras. Tapi, di luar pasar, bahkan jauh dari pasar, kalau hanya jual beras, buat apa buka warung? Di urus dari rumah saja omsetnya sudah lumayan. Sementara kalau buka warung belum tentu ada peningkatan.

Tapi entah kenapa, saat itu saya nurut saja kata teman, lalu dengan dana seadanya, menyewa kios. Kios itu terletak di pinggir jalan Monumen Yogya Kembali. Lokasinya strategis, selalu ramai mulai dari pagi buta sampai tengah malam. Berada di jalur utama menuju sejumlah perumahan, dan disekitar kios itu sendiri berkembang menjadi daerah pertokoan yang sangat menguntungkan.

Tapi itu semua adalah kondisi sekarang, Tahun 2010. Tahun 89, saya bahkan bisa tidur seharian di tengah jalan tanpa terlindas apapun, karena jalan yang saat itu cuma selebar badan truk dan lebih mirip kali kering memang super sepi. Kalaupun ada yang lewat paling hanya gerobag sapi, sepeda atau kendaraan yang kesasar. Ring road di sebelah utara bahkan belum dipasang patok-patoknya, apalagi hotel Hyatt. Saking ndesonya, berada disitu serasa sudah dekat dengan puncak Merapi.

Ibu saya yang biasanya positive thinking bahkan sampai unjal ambegan – sesak nafas, melihat lokasi kios yang in the midle of no where. Secara kasat mata benar-benar hopeless.

Dan lebih hopeless lagi ketika teman saya buka kartu mengenai alasan dia memilih tempat itu: “anaknya cakep!”. Maksud teman saya, pemilik kiosnya punya anak cewek, cakep.

@%$*&!@^%?$72>!!!!!!!! …………….. Kalkulator saya langsung error.

Setelah kalkulator saya pulih, dengan semangat “terlanjur kelelep”, mau tidak mau, warung harus di buka. Sebagai pelengkap dagangan, dijual juga obat nyamuk, mie instant, sabun cuci dan sabun mandi, pasta gigi, dan rokok. Tapi lantaran modal mepet, jumlah persediaan setiap item hanya beberapa biji saja, dan selalu ludes dalam dua tiga hari.

Tapi saya tidak menyesal kesasar sampai ke situ. Insting saya terbukti benar. Walaupun sampai saat saya tutup beberapa tahun kemudian warung itu tetap menjadi single fighter di daerah itu, tidak bisa saya ingkari bahwa bisnis saya tumbuh dan berkembang dari kios berukuran 3x3 itu. Dari tempat itulah saya mendapatkan segala pengalaman bisnis yang terbaik, mulai dari ditipu, dikadali, diporoti sampai keliru jadi target buron polisi


02 Februari 2010

REPOTNYA PPH PASAL 23

Mulai Januari 2010 banyak customer berbadan hukum memotong PPh Pasal 23 terhadap setiap pembayaran yang saya terima. Saya tidak keberatan, karena memang seharusnya seperti itu. Hanya saja, sebagian besar pemotong pajak sering suka-suka dalam melaksanakan kewajibannya.


Entah ide siapa, tarif PPh pasal 23 sewa kendaraan yang semestinya ditanggung penyedia jasa sebesar 2%, dipotong dari tagihan netto, oleh kebanyakan pemotong diubah menjadi 2%, dipotong dari tagihan netto setelah ditambah 3%.

Para staff yang minimal bergelar Sarjana Ekonomi itu selalu minta saya menambahkan 3% pada jumlah netto yang saya tagihkan. Alih-alih saya yang harus membayar pajak, justru mereka dengan sukarela mengambil oper porsi saya. Oleh sebab itu mereka juga menolak menerbitkan bukti potong pajak. Bukan cuma menggelikan, tapi luar biasa bego. Hebatnya, yang berbuat seperti itu justru perusahaan besar yang memiliki staff keuangan dan staff akuntansi berpendidikan.

Lebih konyol lagi, ketika saya mencoba memberi penjelasan bahwa PPh Pasal 23 adalah beban saya dan bisa langsung dipotongkan dari tagihan netto tanpa perlu ada tambahan 3%, mereka malah ngotot. Bahkan ada yang dengan sengitnya menyarankan supaya saya belajar pajak. Tidak sedikit pula yang heran, “Dibayarin pajaknya kok malah gak mau!”

Kalau sudah begitu saya mesti berlapang dada, supaya pembicaraan tidak menjadi tegang hanya lantaran ada yang tersinggung, merasa dianggap tidak tahu pajak.

Biasanya saya lalu menggunakan jurus intimidasi. Saya bilang, kalau nominal yang disetor tidak sesuai dengan tagihan netto yang sesungguhnya, mereka bisa dianggap berusaha mengelabuhi pajak. Jurus ini kebanyakan berhasil – bukti bahwa orang-orang itu memang tidak paham pajak.

Kalau ada diantara pembaca yang bingung, kenapa saya menolak PPh pasal 23 dibayar oleh customer, berikut ini penjelasannya:

Menurut peraturannya, PPh pasal 23 dipotong langsung sebesar 2% dari total tagihan netto (Tagihan brutto dikurangi discount – kalau ada). Kalau tagihan kemudian ditambah 3% sesuai permintaan customer, baru kemudian dipotong 2% untuk disetor sebagai PPh Pasal 23, maka setoran Pph itu menjadi tidak sesuai lagi dengan nominal tagihan netto dalam pembukuan.

Misalnya, tagihan netto sesungguhnya Rp 1 juta. Menurut peraturan, PPh yang dipotong dan disetor oleh customer mestinya sebesar Rp 20 ribu. Jumlah yang saya terima dari customer menjadi Rp 980 ribu. Di buku ditulis sebagai berikut:

- penjualan (atau piutang) Rp 1 juta (KREDIT)
- PPh pasal 23 Rp 20 ribu (DEBET)
- Kas atau piutang Rp 980 ribu (DEBET)
Neraca balans.

Kalau tagihan netto ditambah 3%, menjadi Rp 1.030.000, saat membuat invoice saja sudah muncul masalah. Angka Rp 30 ribu itu dari mana asalnya? Kalau berdasar rincian dalam invoice hanya ketemu tagihan sebesar Rp 1 juta, bagaimana pula cara menambahkan yang Rp 30 ribu?

Selanjutnya, sementara dalam pembukuan nilai penjualan tetap tercatat Rp 1 juta (kredit), sesuai hasil hitungan invoice, pada sisi debet terdapat setoran PPh pasal 23 sebesar Rp 21.000 dan penerimaan tunai (atau piutang) sebesar Rp 1 juta. NERACA TIDAK BALANS. Disamping itu, setoran PPh 23 sebesar Rp 21 ribu tidak klop dengan nilai penjualan yang hanya 1 juta.

Selisih sedikit untuk satu transaksi memang tidak berarti, tapi bagaimana kalau semua customer memotong PPh 23 dengan cara yang sama? Minimal neraca akhir tahun jelas tidak mungkin balans. Kalau di buku saja sudah kacau, bagaimana riilnya?


PREV - MABUK PAJAK - NEXT