Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

31 Agustus 2008

UANG BRAZIL

Punya duit banyak membuat saya sedikit bebal. Baru beberapa bulan nyaris terjerembab oleh emas batangan palsu, saya kembali tergoda. Kali ini iming-imingnya datang dari uang Brazil.

Saat itu sedang istirahat siang dalam pertemuan rutin dengan beberapa relasi di Semarang. Salah seorang tiba-tiba saja nyeletuk, mulai membicarakan uang Brazil. Saya sendiri belum pernah mendengar informasi apapun mengenai uang Brazil, jadi ketika teman saya mengeluarkan fotokopi dokumen-dokumen yang sebagian diantaranya ada tandatangan dengan nama Try Sutrisno tertulis di bawahnya, saya percaya begitu saja.

Sebenarnya ada satu orang yang memberi peringatan tentang kemungkinan uang Brazil cuma bisnis bodong, tapi peringatan itu langsung tenggelam diantara nafsu serakah yang lebih dominan. Menjelang bubaran pertemuan, sekali lagi secara pribadi saya mendapat peringatan. Tapi dasar bebal, peringatan itu lewat begitu saja dari kuping kiri langsung keluar kuping kanan tanpa mampir di otak. Apalagi diantara orang-orang yang berminat pada uang Brazil terdapat satu notaris dan satu pengacara. Pikir saya, tidak mungkin orang-orang pinter hukum itu bisa tertipu bisnis bodong.

Dua hari kemudian perburuan dimulai. Kejadiannya persis sama seperti ketika saya memburu emas batangan. Orang-orang yang kami jumpai juga tidak lebih dari perantara belaka. Sampai bulan kedua bahkan uangnya belum ketahuan disimpan di mana.

Uang Brazil, atau lebih sering disebut UB, dijual paketan. Harga satu paket sekitar Rp 500 juta, dan konon, menurut fotokopi dokumen negara yang saya baca, pemerintah Amerika bersedia membeli kembali dengan harga 1,5 milyar. Menurut kesepakatan umum yang berlaku saat itu, dari 1 milyar keuntungan, 500 juta dibagi rata seluruh perantara, dan sisanya menjadi hak investor.

Seandainya Anda ingat lagu ciptaan Gombloh: “Kalau cinta melekat, tai kucing serasa coklat.”. Yang kami alami juga mirip-mirip seperti itu. Bisnis UB yang semestinya tercium busuk juga serasa coklat. Dan sama seperti ABG dimabuk cinta, nalar kamipun mampet habis. Perburuan selama 4 bulan lebih tanpa hasil bukannya membuat kami waspada, justru menjadi tantangan.

Dan akhirnya, “Ada tiga paket. Satu di Muntilan, dua di Grobogan.”

Semua berjingkrakan, kecuali saya. Entah kenapa, hampir seluruh dana yang saya miliki tertahan sebagai piutang dan persediaan dalam waktu bersamaan. Biasanya selalu ada sisa dalam jumlah lumayan sebagai dana talangan. Jadi seharusnya saya bisa ikut patungan untuk setengah paket. Tapi sampai batas terakhir, saya hanya bisa mengumpulkan 35 juta. Sangat jauh dari cukup.

Pada jam-jam terakhir ada tawaran dana talangan. Tapi saya tolak. Saya belum pernah berhutang dalam jumlah besar. Disamping itu, pikiran saya mulai bimbang setelah hampir semalaman beberapa teman yang tidak percaya UB mencecar saya dengan berbagai informasi negatif mengenai UB.

“Memangnya duit itu mau diserahkan pada siapa? BI? Departemen Keuangan? Try Sutrisno itu siapa? Darimana kamu bisa yakin kalau dokumen itu bukan rekayasa dan nama Wapres Try Sutrisno tidak dicatut?…………… “

Dan yang membuat saya semakin bimbang, salah satu teman berhasil membubuhkan tandatangan, mirip yang saya lihat pada fotokopi dokumen negara, di kertas kalender. Saat itu teknologi scanner, printer laser atau buble jet belum semarak saat ini. Jadi kalau ada yang bisa berbuat seperti itu, sangat luar biasa.

Begitu beratnya perang batin dalam diri saya sampai membuat saya jatuh sakit selama beberapa hari. Ada rasa sesal karena saya melepas begitu saja peluang untuk mendapat keuntungan besar. Peluang istimewa yang barangkali hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Saya kecewa dan marah. Tapi pada siapa? Saya sendiri yang memutuskan mundur. Saya juga yang menolak dana talangan.

Atas saran dokter, untuk mengurangi tekanan batin, saya kembali aktif di kios. Ikut membongkar beras dari truk, kembali ngider jualan beras, membantu mengemas gula pasir, jaga kios sampai malam, nyablon kantong kemasan. Tapi sulit. Penyesalan saya terlanjur merasuk sampai kesumsum tulang.

Suatu hari, keajaiban itu datang tanpa diundang. Berkah bagi saya, tapi malapetaka buat teman-teman. Saya menerima guntingan berita koran tentang penipuan menggunakan uang Brazil. Dan diantara nama-nama korban yang tertulis di situ terdapat beberapa nama yang saya kenal.

Sudah cukup lama saya tidak ketemu para pemburu UB itu. Terakhir saya menerima telepon ketika mereka sedang merayakan keberhasilan mendapatkan tiga paket. Telepon itu yang kemudian membuat saya menyesal tujuh turunan dan jatuh sakit. Tapi setelah membaca berita di koran, penyesalan saya pupus, dan seketika itu juga saya kembali sehat.

Secara keseluruhan, dalam perburuan UB itu saya kehilangan lebih dari 9 juta, tidak termasuk biaya Rumahsakit, dokter dan nebus obat. Terlalu besar untuk harga sebuah kebodohan. Semoga tidak terulang lagi.



21 Agustus 2008

SEKEDAR CERITA

Selain menjalankan sholat berjamaah, saya juga pernah nglakoni bangkrut berjamaah. Tahun 1996, semuanya lebih dari 16 orang dari berbagai kota disekitar Yogya, tanpa kompromi bangkrut bareng. Itu karena bisnis kami, berniaga sarang burung walet, saling terkait antara satu dengan yang lain. Sampai saat ini tidak ada yang tahu secara pasti, apa pemicunya. Tahu-tahu semua ambruk begitu saja seperti rumah-rumah di Yogya yang porak poranda terkena gempa tanggal 27 Mei tahun 2006 lalu.

Saya shok berat ketika sadar tidak ada lagi yang tersisa dari seluruh aset saya. Tapi sebenarnya saya masih beruntung. Walaupun semuanya ludes, tidak sampai meninggalkan hutang satu rupiahpun. Bahkan menurut hitungan, sebenarnya masih ada piutang yang tersisa. Cuma, orang-orang yang berhutang sudah tidak ketahuan lagi rimbanya. Satu orang meninggal jantungan. Yang lain, entah ngumpet atau ditelan bumi, saya tidak tahu.

Diantara sekian banyak orang, tinggal satu yang masih bisa saya temui. Kami melewati masa-masa sulit bersama. Kadang cuma saling diam, lain kali bercanda, tapi adakalanya sampai ribut berantem, saling menyalahkan. Namanya juga lagi stress.

Selain bisnis sarang burung walet, saat itu saya punya kios kelontong. Ketika bisnis walet kolaps kiosnya katut ambruk, dan akhirnya, Desember tahun 98 kios terpaksa ditutup.

Kalau dihitung-hitung mulai dari pertengahan 96 sampai saat kios ditutup, cukup lama saya bersandiwara dihadapan semua orang, berlagak jadi orang waras, padahal setiap hari pikiran saya semakin kacau saja.

Setelah itu saya sempat nganggur beberapa minggu, sebelum akhirnya mencoba berjualan plastik keliling. Terpaksa sih, karena kami berdua sama-sama pengantin baru. Saya menikah bulan Juni 1998, teman saya 2 bulan kemudian. Gila ya? Bangkrut tapi berani nikah.

Tanpa sadar kalau sesungguhnya sedang bersaing, saya dan teman yang cuma bersisa satu itu kemana-mana selalu bersama. Akibatnya, sehari-hari kami cuma bisa menjual sedikit. Saking sedikitnya, sampai untuk beli makan siangpun tidak ada uang - Kan uangnya buat yang di rumah. Terpaksa setiap siang perut diganjal pakai sebotol besar air putih.

Karena jualan plastik tidak memberi hasil, saya mencari lahan lain. Kebetulan ada teman di Jakarta membutuhkan pasokan beras raja lele. Kami lalu jalan sendiri-sendiri, dan setelah itu tidak pernah ketemu lagi.

20 Desember 2008 lalu tepat 10 tahun kios saya tutup. Iseng, saya lewat depan bekas kios. Keadaan sudah jauh berbeda. Bangunan kiosnya berubah menjadi toko, dan jalan didepan menjadi ramai. Alhamdulillah, kehidupan saya juga menjadi lebih baik./span>