Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

17 September 2011

DAGANG KARDUS

Ruang seukuran 3x3 meter persegi mestinya sempit, tapi gara-gara yang saya jual hanya beras, itupun persediaannya tidak lebih dari 500 kilo, kios saya jadi terasa lapang. Akhirnya dengan duit modal tambahan dari ibu, saya membeli beberapa barang sebagai pelengkap dagangan. Karena duitnya cupet, yang bisa dibeli hanya satu karton Indomie isi campuran – maksudnya 10 biji mie goreng, 5 biji ayam bawang, dst., 5 biji sabun mandi, beberapa snack anak-anak, beberapa kilo gula, teh, kopi, dan 3 bungkus rokok.

Pulang belanja baru ketahuan begonya. Itu barang mau diletakkan dimana? Jangankan etalase, meja saja tidak ada. Terpaksa nodong lagi di rumah, minta tambahan duit. Tapi kali itu ibu saya sedikit pelit. Saya hanya dapat tambahan tiga lembar sepuluh ribuan, alias Rp 30 ribu. Padahal saat itu harga etalase paling murah tidak kurang dari Rp 60 ribu. Terpaksa saya harus puas dengan rak buatan sendiri dari bahan besi dan tripleks.

Setelah rak jadi, lebih kelihatan lagi begonya. Dua rak besar bersusun tiga itu terlihat aneh karena isinya cuma sedikit. Mau nambah dagangan lagi, duit tinggal sekitar tujuh ribuan. Akhirnya, setelah putar otak sedikit, duit yang tersisa itu dibelikan kardus bekas kemasan. Lalu kardus-kardus kosong itu disusun rapi memenuhi rak, seolah-olah semuanya berisi stok barang.

Untuk sementara problem bisa diatasi, tapi tidak lama. Lantaran stok barang – selain beras, jumlahnya hanya sedikit, jadi cepat habis. Ketika ada pembeli lain datang, sementara stok barang belum sempat ditambah, rahasia kotak kosong kami jadi ketahuan. Jelas saja pembelinya ngomel-ngomel. Sudah datang jauh-jauh cuma kebagian kotak kosong.

Saya sempat mengajukan proposal lagi pada ibu, tapi ditolak. Menurut ibu, saya harus belajar bekerja dengan modal seadanya. Dan mulai saat itu tidak ada lagi tambahan modal. Saya benar-benar harus ketat ngatur anggaran supaya tidak terus-terusan membuat konsumen kecewa.

Mujurnya, meskipun kios saya - saat itu, 20 tahu lalu, berada di wilayah terpencil dan super sepi, tapi sebenarnya hanya berjarak kira-kira 2 kilometer dari kota. Dan dalam radius itu sedikitnya ada tiga grosir yang bisa saya manfaatkan sebagai tempat jujugan untuk kulak. Jadi, setiap kali persediaan mulai menipis, saya langsung langsir ke salah satu grosir itu. Lebih mujur lagi, mereka mau saja memberi harga khusus meskipun kalau dilihat dari jumlah barang yang saya beli sebenarnya lebih cocok kalau disebut ngecer.

Display kardus dan bisnis langsiran ini berlangsung hampir setahun, sampai kemudian ada beberapa supplier yang bersedia menitipkan dagangannya. Jangan tanya bagaimana saya mempengaruhi para supplier supaya mau titip barang, karena saya memang tidak berbuat apa-apa. Mereka sendiri yang punya inisiatif. Kebetulan saja, setelah kios diisi komplet, barang-barang itu juga cepat terjual. Jadi sama-sama untung