Awal mula menjalani bisnis sarang burung walet pada Januari 1992, saya bekerja berkelompok bersama beberapa kawan. Satu-satunya alasan kami bekerja keroyokan tidak lain karena bisnis sarang burung butuh modal besar dan saat itu masing-masing belum punya cukup uang. Koalisi itu lumayan harmonis sehingga membuat bisnis kami tumbuh cepat.
Saat itu sarang burung memberi keuntungan lumayan. Dari harga beli rata-rata Rp 3.300.000 per kilo, kami bisa menjual Rp 4 sampai 4,5 juta. Isi kocek cepat bertambah. Tapi celakanya, sifat tamak kami juga berkembang. Itu sebabnya kami kemudian punya ide menarik dana investasi dari masyarakat. Logikanya, semakin banyak uang yang diputar, semakin besar pula keuntungan yang bisa diraih.
Dengan imbalan 15% perbulan, tidak sulit bagi kami membujuk sejumlah investor untuk bergabung. Sehingga dalam waktu singkat berhasil terkumpul dana tidak kurang dari 600 juta.
Tapi, secepat itu pula saya nemu kejanggalan.
Mestinya, dengan pertambahan modal begitu besar, laba kotor dalam setiap periode juga bertambah dalam porsi sebanding. Faktanya, semakin besar dana yang diputar, persentase laba kotornya justru semakin turun.
Saya tidak butuh waktu terlalu lama untuk menemukan jawabnya. Pada saat modal kerja masih pas-pasan, semua dana yang kami miliki bisa berputar seluruhnya dan menghasilkan keuntungan secara serentak. Setelah terkumpul uang lebih banyak, saya sering mendapati ada sebagian dana yang tersisa, alias nganggur. Karena berasal dari dana investor yang harus dibayar bunganya setiap bulan, maka uang yang nganggur itu akhirnya berubah menjadi predator. Memangsa sebagian laba kotor.
Lalu, mengapa sampai ada dana nganggur?
Ternyata, dalam setiap periode, paling banyak kami hanya mampu mendapatkan suplai 400 kilo sarang burung walet. Itupun sudah sangat dipaksakan, termasuk menerima sarang dengan kualitas campur aduk. Kalau dirupiahkan, nilainya tidak lebih dari 280 juta.
Berarti, pada setiap periode paling sedikit ada 220 juta rupiah dana yang menjadi predator, menggerogoti laba kotor yang justru semakin surut lantaran kualitas barang yang dijual juga merosot.
Pada saat itu kami semua masih muda, kurang pengalaman dan terlalu bersemangat. Predator yang semakin ganas seiring dengan semakin banyaknya dana yang terhimpun, kami anggap sebagai tantangan. Lalu, dengan semangat entrepreneurship yang luar biasa – maksudnya sedikit nekad dan banyak ngawur, kami bekerja keras mencari solusi untuk menjawab tantangan itu.
Akhirnya, persis seperti pepatah bilang, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Kami nemu beberapa alternatif solusi. Salah satu diantaranya tawaran investasi dibidang properti. Nilainya 10 milyar. Tahun 1992 10 milyar itu sangat banyak. Terutama untuk orang-orang seperti kami, yang sebelumnya hanya bermain dalam skala ratusan juta.
Tapi, jumlah yang sedikit fantastis itu tetap bukan masalah besar bagi kami. Dalam waktu kurang dari sebulan sudah tercatat lebih dari 30 investor ngatre, siap menggelontorkan dana hampir 4 milyar.
Tapi, justru pada saat itu saya kembali terusik. Dari hitung-hitungan di atas kertas saya mendapati bahwa dalam jangka tidak terlalu lama, kami bakal kedodoran. Logikanya sederhana saja: Bisnis properti adalah investasi jangka panjang, sementara dana dari investor adalah investasi jangka pendek. Sangat pendek malah, karena dalam perjanjiannya disebutkan bahwa uang bisa ditarik setiap saat. Ditambah lagi, biaya bunganya sangat tinggi.
Dalam pemahaman saya, kondisi seperti itu sudah tidak bisa dibilang bisnis lagi, melainkan gali lobang tutup lobang. Dan saya sangat yakin, kami tidak akan menang dalam lomba gali menggali seperti itu.
Bagaimanapun, sebuah usaha yang sudah membengkak sampai begitu besar akan sulit bekerja efisien. Artinya, dengan biaya bunga besar, predator-predator tetap akan selalu ada, dan semakin rakus, karena nominalnya bertambah besar. Lalu pada akhirnya, predator itu akan saling memangsa, sehingga bukan hanya keuntungan yang berkurang, melainkan dana investasi yang terkumpul juga bakal ikut tergerus.
Saya sangat bersyukur berhenti sebelum terlambat. Hanya selang beberapa bulan kemudian koalisi itu, bahkan berikut seluruh kegiatan usaha diluar properti, ambruk dimangsa predator. Dan sampai saat naskah ini saya upload lebih 17 tahun kemudian, sebagian besar teman-teman yang tergabung dalam koalisi masih kocar-kacir diuber ribuan investor yang kalap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar