POST TERAKHIR

27 Juni 2012

TERLALU PERCAYA DIRI

Merasa punya pengalaman dan bekal finansial cukup, pertengahan tahun 1995 saya mengawali proyek baru untuk mengembangkan bisnis sarang burung walet. Atas dukungan teman-teman dan para supplier, dengan percaya diri dan keyakinan mantap saya teken kontrak dengan buyer dari negara jiran Malaysia.

Bukankah seorang entrepreneur harus selalu Think Big, Do Big dan Be Big? Itulah aksi konkret saya untuk menjadi lebih besar.

Saya termasuk sedikit agak perfeksionis, jadi seperti biasa, sebelum proyek dimulai, saya cek dan recek terlebih dahulu. Segala macam resiko atau apapun yang nantinya bakal terjadi sudah saya perhitungkan sampai detil. Termasuk juga persiapan mental. Sehingga kalau kemudian menghadapi rintangan dan mendapat banyak kesulitan, tidak sampai kedodoran.

Dan proyek itupun berjalan mulus, ............ pada mulanya, ........................ sampai kemudian suatu hari saya merasa seperti membuka sebuah pintu, dan mendapati apapun yang ada dibalik pintu itu sama sekali berbeda dengan apapun yang selama ini pernah saya alami dan bisa saya bayangkan. Lalu, sebelum mulut saya yang ternganga sempat menutup saya sudah terlibas habis tanpa bisa berbuat banyak.

Jauh sebelum proyek itu tewujud, bahkan ketika masih dalam angan-angan, sebenarnya saya sudah mendapat semacam peringatan. Anak Ambon teman nongkrong setiap kali saya berada di Jakarta bercerita tentang bayi anak tetangganya yang mati gara-gara diberi makan nasi goreng.
Pesan moralnya cukup jelas bagi saya: Sebagai pengusaha lokal, UKM lagi, pengalaman saya dianggap belum memadai sebagai modal untuk tampil di kancah internasional.

Tapi teman saya itu kan cuma pegangguran yang bisanya cuma jadi centeng dan disuruh-suruh kesana kemari. Dia bukan entrepreneur yang Think Big dan punya keyakinan You Can if You Think You Can. Dia tidak tahu kalau seorang entrepreneur harus berani melakukan sesuatu yang besar. Dia pasti juga tidak ngerti kalau sesungguhnya manusia baru memanfaatkan 10% saja dari kemampuan otaknya, sehingga kalau kemudian saya punya niat melakukan sesuatu yang sedikit lebih besar pasti masih berada dalam batas kemampuan saya.

Barangkali teman saya memang bodoh, tapi ternyata saya jauh lebih bodoh karena tidak mau menerima kenyataan bahwa kapasitas saya memang belum memadai. Bahwa di tingkat internasional saya tidak lebih dari bayi yang semestinya masih minum asi dan makan bubur.

Suka atau tidak, akhirnya saya harus mengakui bahwa segala sesuatu memang punya waktunya sendiri. Bayi butuh 9 bulan dalam kandungan supaya lahir sempurna. Telur ayam harus dierami 21 hari supaya menetas. Bahkan matahari butuh 24 jam untuk muncul kembali di ufuk timur. Mestinya, saya juga harus bersabar beberapa bulan, dan mencari pengalaman lebih banyak sebelum memutuskan go international.

Akibat terlalu percaya diri dan tidak sabaran, saya harus membayar amat sangat mahal. Alih-alih go international, malah go to hell.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar