Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

30 November 2009

MEMANG TIDAK SULIT, TAPI JUGA TIDAK GAMPANG


Dari berbagai pengalaman selama belajar budidaya, saya mendapati bahwa budidaya belut ternyata tidak segampang perkiraan semula. Bagian yang paling membutuhkan kesabaran, menurut saya, adalah saat proses membuat media. Bahkan ketika saya mengerjakan dengan komposisi bahan dan prosedur sesuai dalam buku referensi, tetap tidak berhasil.

Perlu beberapa kali percobaan dengan berbagai jenis bahan, termasuk menggunakan jurus setengah ngawur lantaran nyaris putus asa, sebelum akhirnya saya menemukan komposisi yang pas dengan kondisi lingkungan tempat saya melakukan budidaya.

Saya sangat yakin, kondisi lingkungan tempat bahan berasal serta kondisi lingkungan tempat budidaya sangat menentukan perbandingan bahan maupun susunan komposisi. Terbukti ketika saya pindah lokasi, “formula” yang semula saya anggap pas, ditempat baru ternyata tidak disukai belut.

Ketika kemudian saya menemukan komposisi yang pas, sesuai dengan kondisi lingkungan tempat budidaya, saya menghadapi kendala baru ketika kemudian berniat membuat media dalam jumlah lebih banyak. Salah satu komponen media yang sulit dicari dalam jumlah banyak adalah lumpur.

Kalau sekedar asal lumpur memang tidak sulit, tapi setelah saya mencari lumpur dengan kualitas tertentu, ternyata tidak mudah. Kalaupun barangnya tersedia, pemilik lahan tidak rela lumpur sawahnya diambil dalam jumlah banyak. Lalu ketika saya mencari ditempat lain, ternyata kualitasnya tidak sama.

Walaupun akhirnya saya bisa mengatasi masalah itu, tetap saja harus melalui beberapa kali uji coba yang menguras pikiran, tenaga, kantong, sekaligus butuh semangat pantang menyerah yang luar biasa.

Memang ada beberapa teman yang bernasib mujur, mendapat lokasi budidaya yang ideal, sehingga mereka tidak mengalami kesulitan seperti saya dalam menyiapkan media, namun ternyata mereka menghadapi kendala pada tahapan lain. Entah belutnya gampang terserang penyakit atau pertumbuhannya lambat. Pokoknya, pasti ada kendala yang harus diatasi sebelum akhirnya bisa bernafas lega.

Saya rasa, bagi para pemula memang sebenarnya tidak ada yang gampang. Tapi itu semata-mata hanya karena para pemula belum tahu bagaimana cara mengerjakan dengan benar. Setelah tahu, ya …. tetap saja tidak gampang.

Saya bilang tidak gampang. Bukan sulit. Soalnya saya tidak ingin memberi gambaran keliru seolah-olah budidaya belut bisa dikerjakan sambil lalu, segampang membalik telapak tangan. Lalu, ketika kemudian ada yang tidak berhasil, saya katut dituduh menipu.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

08 November 2009

MEMBUAT MEDIA BELUT


Sejak awal saya sudah mendapat wejangan dari beberapa pakar belut, supaya cermat dalam mempersiapkan media. Menurut mereka, kualitas media sangat menentukan keberhasilan budidaya.

Menyiapkan media ternyata tidak gampang, walaupun juga tidak bisa dibilang sulit. Kalau kemudian menjadi sedikit membingungkan itu gara-gara saya terlalu getol mencari tambahan informasi. Mestinya saya ikuti saja petunjuk pembimbing saya tanpa banyak pertimbangan dan tidak usah mencari informasi pembanding. Tapi karena saya sedikit agak perfeksionis, alih-alih mendapat informasi tambahan, akhirnya malah jadi bingung ketika informasi yang saya dapat berbeda antara satu dengan yang lain..

Salah satu yang mengacau kecerdasan saya yang hanya pas-pasan ini adalah pemanfaatan enceng gondok. Yang tidak suka eceng gondok bilang kalau enceng gondok menghambat pertumbuhan plankton dan membuat media jadi keras. Sementara yang lain bilang enceng gondok berguna sebagai tempat persembunyian belut dan memperkecil fluktuasi temperatur air. Bingung dah. Akhirnya saya ganti kangkung. Tapi apa pengaruhnya terhadap belut, saya tidak bisa memantau.

Begitu juga dengan persiapan media. Setiap orang ternyata punya resep masing-masing. Lalu, sebelum terlanjur jadi idiot lantaran kebanyakan mikir, saya memberanikan diri mengambil kesimpulan sendiri. Pada percobaan pertama saya menggunakan jerami, lumpur sawah dan pupuk kandang sebagai bahan dasar media. Tanpa gedebog pisang, karena ada yang bilang kalau media yang dicampur gedebog pisang butuh waktu lebih lama untuk menjadi matang.

Sampai saat ini saya tidak tahu, apakah ramuan media yang saya pakai juga punya andil terhadap kegagalan pada percobaan pertama. Tapi sekedar untuk tidak mengulang kesalahan serupa, maka pada percobaan kedua saya sedikit mengubah komposisi bahan media, memakai rajangan gedebog pisang, jerami dan lumpur sawah. Tanpa pupuk kandang, tapi ditambah larutan dekomposer. Mengapa pakai dekomposer? Lha petunjuknya begitu, ya dituruti saja. Belum saatnya bagi saya untuk berimprovisasi. Daripada nanti panen belut goreng, lebih baik untuk sementara manut saja.

Sesuai petunjuk orang yang saya anggap tahu, jerami dan rajangan gedebog pisang diolah dulu di luar kolam. Kalau tidak salah dengar, difermentasikan dengan bantuan dekomposer. Caranya, saya buat petakan ukuran 2 x 2 meter dari kayu bekas kemasan. Taruh petakan di tempat kering, lalu campuran gedebog dan jerami di tuang ke dalam petakan kayu sampai ketinggian kira-kira 10 cm. Setelah itu larutan dekomposer disemprotkan ke atas permukaan bahan. Setelah semua permukaan disemprot secara merata, lapisan kedua diletakkan di atasnya, juga setinggi 10 cm, lalu disemprot lagi. Begitu seterusya sampai seluruh bahan habis. Terakhir, permukaan paling atas ditutup menggunakan karung goni. Lalu dibiarkan selama kurang lebih 1 bulan.

Setelah matang, media dicuci dengan cara direndam dalam air selama 7 hari. Selama masa perendaman, air diganti setiap hari. Pada akhir hari ke tujuh, air dikuras habis, kemudian media dibagi rata dalam tong, diberi larutan microstarter, ditambahkan lumpur sawah dan air, lalu diaduk sampai rata. Sampai disini persiapan media bisa dianggap selesai, tapi belum bisa dipakai. Masih harus nunggu kurang lebih 1 bulan lagi sampai media aman digunakan. Dan selama menunggu, setiap 2 minggu air diganti baru.

Kalau ada yang pengin tahu, larutan dekomposer itu apa? Saya tidak tahu. Yang jelas jangan coba-coba diminum. Itu saja. Dekomposernya sendiri berupa bubuk, lalu dicampur air dengan takaran 50 gram dekomposer dengan air satu jeriken ukuran 5 liter. Microstarternya saya juga tidak ngeh. Waktu itu saya terima saja apapun yang diberikan teman. Perbandingan medianya juga lupa tidak dicatat. Benar-benar konyol.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

03 November 2009

PERSIAPAN TEHNIS SEBELUM BUDIDAYA BELUT DIMULAI


Langkah awal yang harus dikerjakan, ya bikin kolam. Mau menggunakan tong, terpal, semen atau tumpang sari di sawah, terserah yang penting jangan memakai wajan.

Sebenarnya, begitu pembuatan kolam mulai dikerjakan, kita bisa sekaligus mulai menyiapkan media dan pakan, supaya budidaya bisa start lebih cepat, segera panen dan cepat pula dapat untung gede. Maunya sih. Tapi sebaiknya jangan dilakukan.

Bagaimanapun juga, namanya belajar tetap lebih baik dilakoni step by step. Kehilangan duit bisa dicari lagi, tapi kalau sampai gagal gara-gara adu balap dengan nafsu keburu pengin kaya, membuat orang gampang putus asa.

Membuat kolam bisa suruhan orang, itu bukan ketrampilan tehnis yang wajib dimiliki oleh pembudidaya belut, tapi urusan pakan, memilih bibit dan terutama menyiapkan media, harus dipelajari betul. Jangan sampai belut Anda lebih suka pindah ke wajan ketimbang tinggal di kolam hanya gara-gara Anda malas belajar cara meramu media.

Menurut pengalaman saya, sebagian besar sukses budidaya belut sangat ditentukan oleh kualitas media. Selagi medianya cocok, belut tidak terlalu rewel. Menu makannya cukup belatung, cacing rambut atau keong emas cacah. Tidak perlu dikasih hamburger atau cap jay. Kalaupun terpaksa sampai dua atau tiga hari tidak dikasih makan – memangnya ditinggal ngungsi kemana? – belut masih bisa bertahan.

Karena belut lebih menyukai pakan segar, maka di sela-sela belajar meramu bahan media, sebaiknya disempatkan pula belajar mempersiapkan pakan. Yang ini bisa dipelajari lewat buku, karena budidaya cacing atau keong sangat mudah. Kesalahan apapun yangterjadi, kecuali tersiram minyak panas, cacing dan keong tetap mampu bertahan hidup dan berkembang biak.

Sedikit peringatan, seandainya sampai terpaksa harus membudidayakan keong emas, sebaiknya dijaga jangan sampai ada yang terlepas atau Anda akan mendapat pekerjaan baru, memburu keong yang berkembang biak subur dipekarangan. Meskipun keong emas lebih cocok hidup di sawah, bukan berarti mereka tidak bisa menginvasi pekarangan rumah dan mengacak-acak tanaman kesayangan anda.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT