POST TERAKHIR
30 Desember 2012
Jadilah Pengusaha, Bukan Rampok
Semasa saya masih punya kios kelontong, ibu saya selalu
membayar apapun yang diambil, sesuai dengan harga jual. Tidak pernah sekalipun
mau menerima discount.
Pada mulanya saya merasa aneh. Saya membeli dagangan
menggunakan modal yang saya dapat dari ibu, lalu ketika ibu saya membutuhkan,
beliau masih harus membayar lagi. Tidak masuk akal.
Tapi kurang dari tiga bulan kemudian saya menjadi paham
mengapa harus begitu, ketika tiba-tiba saya sadar persediaan barang dagangan
semakin menipis, sementara uang tunai hanya tersisa dalam hitungan receh. Lebih
konyol lagi, pada hari itu ada dua hutang kepada supplier yang jatuh tempo.
Kemana perginya uang saya? Perasaan akhir bulan lalu saya
masih pegang duit "banyak".
Saya sempat mencurigai pegawai kios dan bahkan partner
bisnis saya. Untungnya, sebelum terlanjur menuduh saya bicara dulu dengan ibu.
Di akhir diskusi yang hanya berlangsung beberapa menit itu
saya menjadi sangat malu ketika mengetahui bahwa malingnya adalah saya sendiri.
Hampir kepada setiap kenalan yang berbelanja saya memberi
harga khusus. Saya juga menyuguhkan snack dan teh botol kepada siapapun yang
bertandang ke kios. Potongan harganya tidak seberapa, harga snack dan teh
botolnya tidak mahal, tapi karena keuntungan riil yang saya dapat setiap
harinya masih sebatas recehan, akhirnya tekor juga.
Sebelumnya saya tidak pernah menyangka modal saya bakal
tergerus. Hasil penjualan yang saya dapat setiap hari lumayan besar dibanding
harga snack dan teh botol yang saya ambil. Tapi saya khilaf telah menganggap
hasil penjualan sebagai pengasilan. Saya lupa bahwa sebagian besar dari uang
yang saya peroleh setiap hari sebenarnya adalah milik para supplier, sementara
bagian saya sendiri hanya kecil, itupun masih harus dipotong untuk membayar
biaya operasional kios.
Saya sangat beruntung, pada pelajaran pertama itu masih ada ibu yang bisa jadi bumper. Cuma
sayang, pelajarannya belum cukup membuat saya mengerti benar.
Meskipun saya tidak lagi obral discount, dan membayar semua barang
yang saya ambil. Tapi saya membayar menggunakan uang hasil penjualan
hari sebelumnya yang sengaja saya sisihkan untuk keperluan pribadi. Sebenarnya tidak salah mengambil upah untuk diri sendiri, cuma masalahnya,
saya tidak pernah berusaha mencari tahu apakah jumlah yang saya sisihkan itu
sepadan dengan keuntungan yang saya peroleh atau tidak.
Ketika omset semakin besar, keuntungan juga bertambah. Tapi
saya tidak pernah memikirkan kemungkinan bahwa biaya operasional juga
membengkak. Saat itu saya hanya melihat – secara harfiah memang seperti itu,
nominal uang yang saya peroleh setiap hari, terutama ketika terjadi akumulasi
kas akibat tidak tertib disetor ke bank.
Dengan jumlah uang "begitu besar" saya kemudian
tidak merasa melakukan kesalahan ketika menggunakan "sebagian kecil"
untuk membeli mobil, nraktir teman atau melengkapi koleksi perangko saya.
Terutama ketika jumlah "uang yang datang" semakin besar karena saya
tidak lagi harus membayar tunai kepada supplier.
Suatu ketika, sebagian kecil dari uang yang berputar
terpaksa harus berhenti karena beberapa customer mengalami masalah finansial. Mestinya tidak terjadi apa-apa, karena volume
yang berputar masih jauh lebih besar. Faktanya, terjadi efek domino.
Karena saya tidak mengendalikan pengeluaran pribadi, maka volume kecil yang berhenti itu membuat perputaran usaha saya
secara keseluruhan terganggu. Lalu ketika saya mulai mengalami
kesulitan membayar hutang jangka pendek, secepat itu pula segalanya menjadi sangat gamblang, bahwa saya tidak memiliki apa-apa lagi selain hutang..
Saya masih beruntung, bisa "berhenti" sebelum
terlambat. Meskipun pada akhirnya hanya tersisa beberapa ratus
ribu saja, tapi saya lolos dari jeratan hutang.
Pelajaran pahit itu kemudian memaksa saya memisahkan uang
pribadi dengan uang perusahaan. Hanya dengan cara seperti itu saya mencegah
diri sendiri tanpa sengaja merampok harta perusahaan.
01 Desember 2012
ENJOY AJA!
Suatu ketia bisnis saya terpuruk habis. Dan sekeras apapun saya berjuang, berusaha bangkit, selalu ketemu jalan buntu. Saat saya sudah seperti katak yang kelelahan setelah ratusan kali melompat berusaha keluar dari lobang tapi tak kunjung berhasil, seseorang memberi nasehat supaya saya bersyukur dan tidak terlalu ngotot.
"Bersyukurlah, meskipun bangkrut, kamu tidak dikejar debt collector."
Kalau saja saya cukup waras, entah apa jadinya orang itu. Enak saja nyuruh bersyukur. Coba saja kalau dia yang mengalami, seluruh harta ludes, tinggal celana kolor. Tapi saat itu mental saya sudah sangat lelah. Pikiran saya terlalu kacau untuk diajak berbantah.
Bahkan beberapa bulan kemudian, ketika keadaan menjadi semakin buruk, akhirnya saya tidak punya pilihan lain kecuali mengakui bahwa nasehat itu benar. Saya memang harus bersyukur, meskipun semua harta ludes, tapi tidak punya tanggungan bayar hutang, sementara beberapa kawan yang bisnisnya juga bangkrut harus berakhir di penjara atau rumahsakit jiwa.
Hari itu untuk pertamakalinya saya berhenti merengek-rengek berdo'a minta ini itu, dan hanya mengucap Alhamdulillah karena saya masih bisa menikmati apapun yang saya makan dan tidur nyenyak, karena masih ada sisa duit walaupun hanya beberapa ratus ribu, karena ada motor yang bisa saya pinjam, karena ada pedagang keliling yang bersedia meminjamkan sebagian dagangannya, karena badan saya tetap sehat dan kuat setiap hari jualan keliling, menempuh lebih dari 100 kilometer, meskipun kadang cuma makan sekali.
Lambat tapi pasti, akhirnya saya menyadari, semakin banyak yang bisa saya syukuri semakin enak rasanya. Segala macam perasaan sumpeg, sesak, bahkan penyakit orang gagal (pesimis, iri, dengki, suka mencela) yang mulai berjangkit, berangsur-angsur hilang.
Bersyukur tidak membuat hidup menjadi lebih mudah. Masalah dan kesulitan tetap menjadi menu rutin harian. Tapi paling tidak saya bisa mengendalikan reaksi saya terhadap hal-hal buruk yang terjadi.
Seperti ketika brand new Altis yang saya pinjam dari teman – lalu saya sewakan kembali – hampir seluruh bagasinya hancur diseruduk mobil militer yang telat ngerem di lampu merah. Punya urusan dengan tentara saja sudah apes, apalagi mobil tidak diasuransikan. Lebih konyol lagi, pemilik kendaraan ternyata tidak siap menghadapi resiko seperti itu.
Hanya satu kalimat yang membuat saya tetap bisa berpikir waras: Alhamdulillah, untung cuma kena bagasi. Penumpang dan sopir saya tidak katut jadi korban.
Setelah itu tidak terjadi keajaiban apa-apa, tapi karena pikiran tidak kacau, saya bisa nemu cara terbaik untuk menyelesaikannya. Termasuk tidak melimpahkan biaya perbaikan kendaraan kepada sopir, karena dia memang tidak bersalah.
Saya rasa, untuk lolos dari masalah atau supaya menang ketika menghadapi rintangan, kita tidak butuh keajaiban atau jurus perang Tsun Zu. Hanya perlu sedikit ketenangan supaya "malaekat" kreatif yang bersemayam dalam diri kita bisa bekerja dengan leluasa. Dan karena masalah dan rintangan adalah menu harian bagi pengusaha, maka tidak ada cara lain untuk mengadapi kecuali ENJOY AJA!
Kalau saja saya cukup waras, entah apa jadinya orang itu. Enak saja nyuruh bersyukur. Coba saja kalau dia yang mengalami, seluruh harta ludes, tinggal celana kolor. Tapi saat itu mental saya sudah sangat lelah. Pikiran saya terlalu kacau untuk diajak berbantah.
Bahkan beberapa bulan kemudian, ketika keadaan menjadi semakin buruk, akhirnya saya tidak punya pilihan lain kecuali mengakui bahwa nasehat itu benar. Saya memang harus bersyukur, meskipun semua harta ludes, tapi tidak punya tanggungan bayar hutang, sementara beberapa kawan yang bisnisnya juga bangkrut harus berakhir di penjara atau rumahsakit jiwa.
Hari itu untuk pertamakalinya saya berhenti merengek-rengek berdo'a minta ini itu, dan hanya mengucap Alhamdulillah karena saya masih bisa menikmati apapun yang saya makan dan tidur nyenyak, karena masih ada sisa duit walaupun hanya beberapa ratus ribu, karena ada motor yang bisa saya pinjam, karena ada pedagang keliling yang bersedia meminjamkan sebagian dagangannya, karena badan saya tetap sehat dan kuat setiap hari jualan keliling, menempuh lebih dari 100 kilometer, meskipun kadang cuma makan sekali.
Lambat tapi pasti, akhirnya saya menyadari, semakin banyak yang bisa saya syukuri semakin enak rasanya. Segala macam perasaan sumpeg, sesak, bahkan penyakit orang gagal (pesimis, iri, dengki, suka mencela) yang mulai berjangkit, berangsur-angsur hilang.
Bersyukur tidak membuat hidup menjadi lebih mudah. Masalah dan kesulitan tetap menjadi menu rutin harian. Tapi paling tidak saya bisa mengendalikan reaksi saya terhadap hal-hal buruk yang terjadi.
Seperti ketika brand new Altis yang saya pinjam dari teman – lalu saya sewakan kembali – hampir seluruh bagasinya hancur diseruduk mobil militer yang telat ngerem di lampu merah. Punya urusan dengan tentara saja sudah apes, apalagi mobil tidak diasuransikan. Lebih konyol lagi, pemilik kendaraan ternyata tidak siap menghadapi resiko seperti itu.
Hanya satu kalimat yang membuat saya tetap bisa berpikir waras: Alhamdulillah, untung cuma kena bagasi. Penumpang dan sopir saya tidak katut jadi korban.
Setelah itu tidak terjadi keajaiban apa-apa, tapi karena pikiran tidak kacau, saya bisa nemu cara terbaik untuk menyelesaikannya. Termasuk tidak melimpahkan biaya perbaikan kendaraan kepada sopir, karena dia memang tidak bersalah.
Saya rasa, untuk lolos dari masalah atau supaya menang ketika menghadapi rintangan, kita tidak butuh keajaiban atau jurus perang Tsun Zu. Hanya perlu sedikit ketenangan supaya "malaekat" kreatif yang bersemayam dalam diri kita bisa bekerja dengan leluasa. Dan karena masalah dan rintangan adalah menu harian bagi pengusaha, maka tidak ada cara lain untuk mengadapi kecuali ENJOY AJA!
Langganan:
Postingan (Atom)