Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Terimakasih sudah berkunjung di blog saya.

Berhubung blog Small Is Powerfull salah oprek dan sampai hari ini belum bisa diselamatkan, maka saya memutuskan untuk bedhol blog. Sebagian besar post berhasil saya pindah, tinggal beberapa yang agak berantakan belum sempat diperbaiki. Kalau mau keren, saya bisa bilang belum punya waktu. Tapi kalau mau jujur, terpaksa saya harus ngaku, malas.

Karena sudah ada pengunjung yang kecewa, sekali lagi perlu saya sampaikan bahwa ini bukan blog motivasi atau tentang kiat sukses. Semua adalah pengalaman pribadi. Apakah yang saya alami konyol, katrok, sesuai dengan teori atau tidak, bagi saya tidak penting. Realitanya seperti itulah yang terjadi.

Seandainya ada pemula yang kemudian menjadi keder setelah membaca blog ini, saya cuma bisa minta maaf – Memangnya kalau minta duit ada yang mau kasih? Tapi kalau memang sudah niat jadi pengusaha, sebaiknya jangan membiasakan diri gampang keder.

Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Ada yang ketemu jalan mulus, baru mulai langsung sukses. Tapi ada pula yang kebagian jalur off road sehingga bisa punya cerita seru seperti saya..



POST TERAKHIR

30 Desember 2012

Jadilah Pengusaha, Bukan Rampok



Semasa saya masih punya kios kelontong, ibu saya selalu membayar apapun yang diambil, sesuai dengan harga jual. Tidak pernah sekalipun mau menerima discount.

Pada mulanya saya merasa aneh. Saya membeli dagangan menggunakan modal yang saya dapat dari ibu, lalu ketika ibu saya membutuhkan, beliau masih harus membayar lagi. Tidak masuk akal.

Tapi kurang dari tiga bulan kemudian saya menjadi paham mengapa harus begitu, ketika tiba-tiba saya sadar persediaan barang dagangan semakin menipis, sementara uang tunai hanya tersisa dalam hitungan receh. Lebih konyol lagi, pada hari itu ada dua hutang kepada supplier yang jatuh tempo.

Kemana perginya uang saya? Perasaan akhir bulan lalu saya masih pegang duit "banyak".

Saya sempat mencurigai pegawai kios dan bahkan partner bisnis saya. Untungnya, sebelum terlanjur menuduh saya bicara dulu dengan ibu.

Di akhir diskusi yang hanya berlangsung beberapa menit itu saya menjadi sangat malu ketika mengetahui bahwa malingnya adalah saya sendiri.

Hampir kepada setiap kenalan yang berbelanja saya memberi harga khusus. Saya juga menyuguhkan snack dan teh botol kepada siapapun yang bertandang ke kios. Potongan harganya tidak seberapa, harga snack dan teh botolnya tidak mahal, tapi karena keuntungan riil yang saya dapat setiap harinya masih sebatas recehan, akhirnya tekor juga.

Sebelumnya saya tidak pernah menyangka modal saya bakal tergerus. Hasil penjualan yang saya dapat setiap hari lumayan besar dibanding harga snack dan teh botol yang saya ambil. Tapi saya khilaf telah menganggap hasil penjualan sebagai pengasilan. Saya lupa bahwa sebagian besar dari uang yang saya peroleh setiap hari sebenarnya adalah milik para supplier, sementara bagian saya sendiri hanya kecil, itupun masih harus dipotong untuk membayar biaya operasional kios.

Saya sangat beruntung, pada pelajaran pertama itu masih ada ibu yang bisa jadi bumper. Cuma sayang, pelajarannya belum cukup membuat saya mengerti benar.

Meskipun saya tidak lagi obral discount, dan membayar semua barang yang saya ambil. Tapi saya membayar menggunakan uang hasil penjualan hari sebelumnya yang sengaja saya sisihkan untuk keperluan pribadi. Sebenarnya tidak salah mengambil upah untuk diri sendiri, cuma masalahnya, saya tidak pernah berusaha mencari tahu apakah jumlah yang saya sisihkan itu sepadan dengan keuntungan yang saya peroleh atau tidak.

Ketika omset semakin besar, keuntungan juga bertambah. Tapi saya tidak pernah memikirkan kemungkinan bahwa biaya operasional juga membengkak. Saat itu saya hanya melihat – secara harfiah memang seperti itu, nominal uang yang saya peroleh setiap hari, terutama ketika terjadi akumulasi kas akibat tidak tertib disetor ke bank.

Dengan jumlah uang "begitu besar" saya kemudian tidak merasa melakukan kesalahan ketika menggunakan "sebagian kecil" untuk membeli mobil, nraktir teman atau melengkapi koleksi perangko saya. Terutama ketika jumlah "uang yang datang" semakin besar karena saya tidak lagi harus membayar tunai kepada supplier.

Suatu ketika, sebagian kecil dari uang yang berputar terpaksa harus berhenti karena beberapa customer  mengalami masalah finansial.  Mestinya tidak terjadi apa-apa, karena volume yang berputar masih jauh lebih besar. Faktanya, terjadi efek domino.

Karena saya tidak mengendalikan pengeluaran pribadi, maka volume kecil yang berhenti itu membuat perputaran usaha saya secara keseluruhan terganggu. Lalu ketika saya mulai mengalami kesulitan membayar hutang jangka pendek, secepat itu pula segalanya menjadi sangat gamblang, bahwa saya  tidak memiliki apa-apa lagi selain hutang..

Saya masih beruntung, bisa "berhenti" sebelum terlambat. Meskipun pada akhirnya hanya tersisa beberapa ratus ribu saja, tapi saya  lolos dari jeratan  hutang.

Pelajaran pahit itu kemudian memaksa saya memisahkan uang pribadi dengan uang perusahaan. Hanya dengan cara seperti itu saya mencegah diri sendiri tanpa sengaja merampok harta perusahaan.




PREV FUNPRENEURSHIP -  NEXT

01 Desember 2012

ENJOY AJA!

Suatu ketia bisnis saya terpuruk habis. Dan sekeras apapun saya berjuang, berusaha bangkit, selalu ketemu jalan buntu. Saat saya sudah seperti katak yang kelelahan setelah ratusan kali melompat berusaha keluar dari lobang tapi tak kunjung berhasil, seseorang memberi nasehat supaya saya bersyukur dan tidak terlalu ngotot. "Bersyukurlah, meskipun bangkrut, kamu tidak dikejar debt collector."

Kalau saja saya cukup waras, entah apa jadinya orang itu. Enak saja nyuruh bersyukur. Coba saja kalau dia yang mengalami, seluruh harta ludes, tinggal celana kolor. Tapi saat itu mental saya sudah sangat lelah. Pikiran saya terlalu kacau untuk diajak berbantah.

Bahkan beberapa bulan kemudian, ketika keadaan menjadi semakin buruk, akhirnya saya tidak punya pilihan lain kecuali mengakui bahwa nasehat itu benar. Saya memang harus bersyukur, meskipun semua harta ludes, tapi tidak punya tanggungan bayar hutang, sementara beberapa kawan yang bisnisnya juga bangkrut harus berakhir di penjara atau rumahsakit jiwa. 

Hari itu untuk pertamakalinya saya berhenti merengek-rengek berdo'a minta ini itu, dan hanya mengucap Alhamdulillah karena saya masih bisa menikmati apapun yang saya makan dan tidur nyenyak, karena masih ada sisa duit walaupun hanya beberapa ratus ribu, karena ada motor yang bisa saya pinjam, karena ada pedagang keliling yang bersedia meminjamkan sebagian dagangannya, karena badan saya tetap sehat dan kuat setiap hari jualan keliling, menempuh lebih dari 100 kilometer, meskipun kadang cuma makan sekali. 

Lambat tapi pasti, akhirnya saya menyadari, semakin banyak yang bisa saya syukuri semakin enak rasanya. Segala macam perasaan sumpeg, sesak, bahkan penyakit orang gagal (pesimis, iri, dengki, suka mencela) yang mulai berjangkit, berangsur-angsur hilang.

Bersyukur tidak membuat hidup menjadi lebih mudah. Masalah dan kesulitan tetap menjadi menu rutin harian. Tapi paling tidak saya bisa mengendalikan reaksi saya terhadap hal-hal buruk yang terjadi.

Seperti ketika brand new Altis yang saya pinjam dari teman – lalu saya sewakan kembali – hampir seluruh bagasinya hancur diseruduk mobil militer yang telat ngerem di lampu merah. Punya urusan dengan tentara saja sudah apes, apalagi mobil tidak diasuransikan. Lebih konyol lagi, pemilik kendaraan ternyata tidak siap menghadapi resiko seperti itu.

Hanya satu kalimat yang membuat saya tetap bisa berpikir waras: Alhamdulillah, untung cuma kena bagasi. Penumpang dan sopir saya tidak katut jadi korban.

Setelah itu tidak terjadi keajaiban apa-apa, tapi karena pikiran tidak kacau, saya bisa nemu cara terbaik untuk menyelesaikannya. Termasuk tidak melimpahkan biaya perbaikan kendaraan kepada sopir, karena dia memang tidak bersalah.

Saya rasa, untuk lolos dari masalah atau supaya menang ketika menghadapi rintangan, kita tidak butuh keajaiban atau jurus perang Tsun Zu. Hanya perlu sedikit ketenangan supaya "malaekat" kreatif yang bersemayam dalam diri kita bisa bekerja dengan leluasa. Dan karena masalah dan rintangan adalah menu harian bagi pengusaha, maka tidak ada cara lain untuk mengadapi kecuali ENJOY AJA!



PREV - FUNPRENEURSHIP NEXT