POST TERAKHIR

20 September 2009

SEBENARNYA TIDAK SULIT

Walaupun dana saya mepet, kegagalan tidak pernah menjadi masalah buat saya. Semua sudah diperhitungkan. Yang mengganggu justru reaksi lingkungan. Teman-teman mentertawakan ide saya budidaya belut, yang mereka anggap konyol. Setelah kegagalan itu, saya selalu ketemu banyak konsultan dadakan yang memberi nasehat tentang sisi negatifnya budidaya belut. Tidak ketinggalan pula saya mendapat kiriman segepok artikel media masa yang mengulas potensi semu pasar belut. Intinya, menurut mereka, belut tidak layak dan tidak mungkin dibudidayakan. Dan – masih menurut mereka, saya terlalu bego sampai terbujuk oleh informasi sesat yang sengaja disebar oleh penyelenggara bisnis pelatihan.

Dari komunitas korban budidaya jangkrik saya pernah menerima kliping berita penipuan yang dilakukan oleh salah satu asosiasi peternak jangkrik terhadap berbagai pihak, termasuk beberapa pemerintah daerah. Karena tidak ada kelanjutannya, saya tidak tahu apakah berita itu benar atau sekedar black campaign dari para pesaing asosiasi. Tapi yang jelas, sampai saat ini saya masih menjumpai banyak pembudidaya jangkrik yang berhasil sukses, meskipun yang gagal justru jauh lebih banyak.

Kalau komoditi yang hanya dikonsumsi burung saja bisa memberi hasil, kenapa belut yang dikonsumsi manusia dibilang tidak layak? Diamping itu, saya gagal bukan lantaran hasil panen saya tidak laku, melainkan karena malas menyiapkan pakan alami.

Setelah semua kesalahan yang sekiranya saya lakukan dan mungkin akan saya lakukan lagi sudah lengkap didata dan dicari solusinya, saya memutuskan jalan terus. Sayang, dengan berbagai alasan, teman saya memilih mundur. Tanpa teman, dengan kendala psikologis yang tidak mudah diajak kompromi, budidaya belut jelas bukan sekedar sulit lagi bagi saya. Walaupun saya tetap akan mencincang bekicot sendiri, tapi saya butuh teman sekedar untuk berbagi merinding sebelum mulai menjagal.

Setelah hampir dua bulan mencari partner dan ternyata tidak nemu satupun yang saya anggap cocok, akhirnya saya memutuskan jalan sendiri. Benar saja, tanpa teman kerja, saya merasakan teror berlipat dibanding sebelumnya. Benar-benar tiada hari tanpa merinding. Adakalanya saya nyaris berhenti budidaya bukan karena mengalami kesulitan atau ogah pegang belut atau cacing, melainkan semakin iba melihat bekicot dan cacing-cacing yang harus saya bantai. Semakin lama menjadi algojo, saya justru menjadi semakin sensitif terhadap binatang.

Ingin rasanya mengupah orang untuk melakukan pekerjaan horor itu, meskipun secara finansial tidak layak karena hanya menghidupi belut dua tong saja. Tapi seperti biasa , saya merasa harus mengerjakan sendiri dulu sampai berhasil sebelum menyuruh orang lain. Bukan apa-apa. Saya tergolong orang cerewet, dan saya tidak mau nantinya ada yang ngomel, “biasanya omong doang!”

Kali ini saya benar-benar ketemu batunya. Belum pernah ada bisnis yang sampai makan hati seperti ini. Saya yang oleh banyak orang dijuluki kapitalis tulen lantaran tega menagih piutang sampai sen terakhir dibuat tidak berkutik oleh cacing dan bekicot. Pada akhirnya saya memang berhasil memaksa diri menyelesaikan pekerjaan sampai panen, tapi kemudian kehilangan semangat ketika tiba saatnya harus menjual hasil panen. Saya terima begitu saja uang yang diberikan oleh pembeli, tanpa dihitung lagi apakah nilainya sesuai dengan jumlah belut yang terjual.

Kali ini budidayanya berhasil, tapi secara keseluruhan saya justru merasa gagal.



PREV BUDIDAYA BELUT- NEXT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar