Karena sadar betul bahwa saya menghadapi lebih banyak kendala, terutama masalah psikologis, maka terhadap komoditi satu ini saya tidak mau terburu-buru. Selain harus belajar masalah tehnis, saya juga harus mempersiapkan mental untuk berdamai dengan belut phobia. Saya juga harus menguatkan nyali, bukan hanya untuk memegang cacing, bekicot atau belatung, melainkan juga harus belajar menjadi raja tega supaya punya nyali untuk membantai dan mencacah cacah hewan-hewan itu sebagai pakan belut.
Setelah mencoba flash back, baru saya sadari kalau seumur hidup ternyata hanya nyamuk dan ular saja binatang yang pernah – dan sering saya bunuh dengan sengaja. Membunuh ularpun sebenarnya bukan karena sengaja, melainkan reflek, lantaran terlalu histeris, sampai saya kehilangan nalar.
Disaat saya sedang panas dingin belajar jadi algojo, ada informasi kalau pakan belut bisa diganti pelet. Alhamdulillah …….. Jadi tinggal belajar berantem dengan belut. Rasanya tidak sulit.
Januari 2009 saya mulai membuat persiapan. Pertamakali, mencari partner. Jujur saja, saya butuh teman, paling tidak supaya benih belut yang saya beli nanti benar-benar dibudidayakan, dirawat, dikasih makan, bukan saya buang kecomberan lantaran nyali saya masih sentlap-sentlup.
Ada teman, korban PHK, yang bersedia kerja bareng.
Persiapan dilanjutkan.
Karena masih pemula, kami mengawali dengan 2 tong. Dengan bekal pengalaman selama masa pelatihan – yang ternyata justru banyak lupa, media lumpur diolah secara ketat mengikuti petunjuk dari buku - Dan ketika medianya siap dituang air beberapa hari kemudian, bukunya sudah tidak karuan lagi bentuknya.
Pertengahan Maret benih disebar. Supaya tidak terlalu ribet, setiap tong cukup diisi 0,5 kg benih atau menurut penjualnya kurang lebih 40 ekor anak belut. Setelah sekian bulan tidak menyentuh belut hidup, phobia saya kambuh. Pada sentuhan pertama, merindingnya gak karuan.
Setelah semua bibit masuk, permukaan air diberi kangkung sebagai tanaman peneduh – karena susah cari enceng gondok, bagian atas tong ditutup kasa, dan terakhir, pompa akuarium dinyalakan. Jadilah farm belut saya mulai beroperasi. Ternyata tidak sulit. Pekerjaan selanjutnya cuma menabur pelet dan memantau kondisi air.
Terbukti kan, selama ada kemauan, apapun kendalanya, pasti bisa diatasi.
Sambil mengurus farm – boleh dong pakai istilah keren, biar tambah semangat. – kami mulai membuat rencana kedepan. Lalu ketika hitungan angkanya sudah matang, kami segera mencari lokasi tanah - bakal farm betulan, untuk disewa. Bulan ke tiga setelah tebar benih semuanya sudah siap. Lokasi tanah sudah ketemu, supplier tong sudah dapat, tenaga pembantu sudah ada, dan paling penting, duit sudah tersedia. Cuma entah kenapa, mendadak semangat kami berdua sedikit mlempem.
- Tunggu anakku lahir, bulan depan.
Teman saya mulai berdalih untuk mengulur waktu. Herannya, saya setuju saja. Padahal biasanya, kalau ada yang semangatnya kendor, saya paling kencang berteriak.
Bulan berikutnya si bayi lahir. Alhamdulillah. Kebetulan juga, benih belut yang ditebar sudah waktunya dipanen. Jadi sekalian saja syukuran bareng. Hari H-nya ditetapkan tanggal 21 Juli dan belut hasil panen perdana diniatkan untuk lauk syukuran.
Pada hari H, kami berdua plus keluarga besar teman, termasuk jabang bayi, berkumpul di teras belakang. Setelah berdo’a, acara panen dimulai. Saya mendapat kehormatan untuk mengawali panen.
Dengan semangat tidak karuan, karena lagi-lagi phobinya kambuh, saya memaksa diri memasukkan tangan ke dalam tong. Aduk sana, aduk sini. Setelah beberapa saat, nyali saya mulai tumbuh dan saya menjadi semakin bersemangat. Tapi, disaat mulai kegirangan, sekaligus saya mulai heran. Kok, tangan saya sejak tadi tidak nyenggol apa-apa? Aduk lagi sana-sini. Tetap tidak nemu apa-apa.
Gawat! Perasaan saya mulai tidak enak.
Melihat keadaan saya, teman saya menjadi tidak sabar, tong satunya langsung diubeg. Sami mawon. Akhirnya kami sepakat menumpahkan isi tong.
Byurrrr ………….
Diantara lumpur yang mengalir ke mana-mana terlihat ada beberapa makhluk bergerak-gerak. Beberapa ekor ………… ah, ternyata cuma empat, ukurannya lumayan besar, walaupun tidak sebesar hasil panen di tempat pelatihan, sementara lainnya …….. ada tujuh ekor, ukurannya cuma sedikit lebih besar dibanding benih yang dulu kami tebar. Lainnya mana? Lalu kenapa yang gede cuma empat dan yang lain cebol?
Walaupun sejak awal, saat semuanya running well, saya sempat was-was kalau-kalau nanti bakal ada kejutan, tak urung ketika kejutan itu benar-benar datang, saya sempat merasa kecewa. Masalahnya, saya tidak menyangka kalau kejutannya bakal seperti ini. Prediksi saya semula, kalaupun gagal, mungkin belutnya mati satu persatu, atau bagaimana, pokoknya tidak seperti itu. Lha ini, yang mati tidak ketahuan bangkainya, sementara yang tersisa ukurannya tidak seragam. Bener-bener ajaib.
- Kamu yang ajaib. Ide siapa kasih makan belut pakai pelet?.
Pelatih saya ngakak setelah tahu masalah yang saya hadapi.
Yaahhhhhh …….. budidaya belut ternyata tidak boleh semau gue. Gara-gara males menyiapkan pakan alami, belut-belut saya saling memangsa. Yang selamat tapi tidak kecukupan gizi – mungkin kalah berebut bangkai, tumbuhnya lambat, jadi kontet.
Pelajaran pertama: Kalau mengerjakan sesuatu, lakukan dengan sungguh-sunggu dan sepenuh hati.
PREV - BUDIDAYA BELUT- NEXT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar