Setelah punya NPWP rasa-rasanya apapun yang saya lakukan, kecuali kentut dan bernafas, selalu berurusan dengan pajak. Kalau secara pribadi saja bisa sampai terasa seperti itu, dalam bisnis ribetnya bukan hanya dalam perasaan, melainkan memang nyata.
Tidak ada satu transaksi atau mutasi keuangan sekecil apapun yang bisa saya lakukan tanpa terlebih dahulu mikir resiko pajaknya. Jadi bukan sekedar menghitung berapa pajak yang harus di bayar, tapi memikirkan resiko apa yang akan terjadi nanti seandainya saya begini atau begitu.
Masalah sepele saja, urusan makan siang pegawai. Antara menyediakan nasi berikut lauk pauk untuk makan siang atau memberikan “mentah” berupa uang makan, resiko pajaknya beda jauh.
Sekarang, urusan rutin seperti itu memang bukan lagi masalah, tapi itu bukan berarti saya bisa leluasa berpaling dari prosedur akuntansi – pekerjaan yang sebenarnya sangat tidak saya sukai. Banyak supplier, penerima komisi penjualan dan customer yang tidak mau berurusan dengan pajak, sementara dari sisi administrasi saya, mereka merupakan wajib pajak, dan perusahaan saya wajib memotong atau memungut pajak dari orang-orang itu .
Mestinya saya tidak perlu minta ijin memotong komisi penjualan. Berikan saja penghasilan nettonya plus bukti potong pajak, habis perkara. Tapi kalau saya nekad berbuat seperti itu, ya habis beneran. Kali lain saya tidak akan menerima order lagi dari rekanan yang saya paksa “menjadi orang bijak” itu.
Nominal yang dipotong sebenarnya tidak besar, tapi berapapun nilainya kalau bernama potongan memang tidak pernah enak.
Belum lagi masalah NPWP. Sebagian besar supplier saya sebenarnya punya NPWP, tapi ogah disetori pajak. Saya maklum. Kebanyakan masih menggunakan NPWP pribadi, kalau terlalu sering menerima setoran pajak, hitungan PPh pasal 29 nya pasti lebih bayar.
Di satu sisi saya wajib memotong dan setor, di sisi lain, para wajib pajaknya tidak mau penghasilannya dipotong. Artinya, saya harus mencari solusi supaya nantinya tidak terkena penalti pajak. Seberat-beratnya pelanggaran lalulintas, urusan bisa langsung selesai seketika, tapi tidak dengan penalti pajak. Urusannya puanjaaaang dan melelahkan.
Nah, sekarang, siapa yang masih bisa bilang kalau jadi pengusaha itu bebas? Selagi kita tidak mampu menggaji orang yang mumpuni mengurus akuntansi pajak, selama itu pula kita tidak bakal leluasa menjalankan bisnis tanpa direcoki masalah pajak.
Beberapa teman memilih memakai jurus “bonek”. Bandha nekad. Bisnis jalan dulu, masalah pajak urusan belakang.
- Entrepreneur itu orang bebas. Kita pakai duit sendiri, nanggung resiko sendiri, memberi makan orang banyak, sementara pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja, ngapain takut sama pajak?
Barangkali saya memang paranoid dan terlalu berlebihan. Tapi apapun itu, yang pasti semua resiko pajak selalu saya perhitungkan terlebih dahulu. Termasuk ketika saya memutuskan membatasi kendaraan yang saya beli atasnama perusahaan, karena menyewa dari para supplier bukan cuma menghemat investasi dan mengurangi biaya perawatan, tapi sekaligus menyederhanakan proses administrasi pajak.
Bulan lalu salah seorang teman uring-uringan gara-gara pada hitungan PPh pasal 29 hutang pajak perusahaan miliknya naik berlipat, tidak sebanding dengan kenaikan omset penjualan. Laba sebelum pajaknya bertambah 400 juta lebih, berasal dari “keuntungan” menjual salah satu armada yang sudah habis umur ekonomisnya.
- Untung 400 juta dari moyang lu?”
Nah, lho, moyang saya yang tidak tau apa-apa malah kena getahnya.
Menurut hitungan secara awam, hasil sewa plus hasil penjualan dikurangi investasi dan biaya, keuntungannya memang tidak sebesar itu. Masalahnya, menurut hitungan akuntansi pajak, karena nilai ekonomisnya sudah habis, maka hasil penjualan yang 400 juta lebih itu seluruhnya muncul sebagai tambahan keuntungan.
Dengan kata lain, yang 400 juta lebih itu seratus persen menjadi obyek pajak. Karena perusahaan teman saya masih masuk kelas UKM, maka yang 400-an juta itu “hanya” terhutang pajak 14% saja. Lumayan ...... Maksud saya, lumayan membuat teman saya uring-uringan.
Iseng saja kita hitung, 400 juta lebih itu seandainya dibulatkan jadi 400, maka pajak terhutangnya 64 juta. Belum lagi PPn sebesar 5 persen yang juga harus disetor untuk penjualan barang bekas. Pembeli barang bekas mana mau dibebani PPN? Artinya, teman saya mesti nomboki PPNnya – kalau tidak, tau sendiri resikonya. Cepat atau lambat pasti akan ketahuan dan ditagih berikut dendanya. Total jendfral, penjualan aktiva itu membuat teman saya terhutang pajak 84 jutaan.
Iseng lagi, ketika dihitung secara riil, selama 6 tahun memelihara Alphard, teman saya cuma mendapat keuntunggan netto tidak lebih dari 200 juta – karena permintaan sewa Alphard memang tidak setinggi Innova. Setelah dikurangi kewajiban pajaknya, yang tersisa kurang dari 125 juta.
Untungnya, harga Alphard baru tidak jauh beda ketimbang saat dulu membeli. Kalau saja harga Alphard selincah harga Innova, yang naik lebih dari 50% dalam kurun waktu 6 tahun, jelas secara riil teman saya tekor habis.
Saya juga menyewakan Alphard. Kendaraan saya sewa dari supplier. Tanpa modal investasi, tidak keluar biaya perawatan, selama 6 tahun hasilnya tidak beda jauh dari keuntungan netto yang diperoleh teman saya.
Kalau saja teman saya mau sedikit lebih serius mikir pajak, dia tidak perlu “keluar tenaga” banyak untuk mendapat penghasilan yang sebenarnya bisa diperoleh “tanpa modal” sama sekali.
PREV - MABUK PAJAK - NEXT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar