POST TERAKHIR

07 Februari 2012

PENGUSAHA TERNYATA JONGOS JUGA


Saya pernah ikut pelatihan kewirausahaan, tapi ketika teorinya saya ikuti dengan taat, saya malah kedodoran. Manuver saya menjadi kikuk dan serba canggung.


Tidak butuh waktu lama, saya segera tahu, penyebabnya karena saya sulit mengikuti koridor yang dibangun oleh sebuah teori .... ah, kalimatnya susah amat, sih? Kesimpulannya, saya memang susah diatur.

Nah, begitu lebih enak. Itu pula sebabnya saya pilih mandiri, bukan jadi pegawai, walaupun lingkungan saya semuanya pegawai nan makmur dan terhormat. Sementara saya sendiri bahkan pernah terpaksa hanya minum air putih sebagai pengganti makan siang, lantaran tidak ada duit buat beli nasi.

Sama seperti kebanyakan pemula, saya berangkat dengan pengertian bahwa menjadi pengusaha identik dengan kebebasan. Sampai kemudian saya menghadapi kenyataan yang jumpalitan gak karuan dan menyadari bahwa menjadi pengusaha tidak beda jauh dari super jongos.

Jabatannya saja bos, realitanya bahkan harus melayani kepentingan semua orang, mulai dari karyawan, rekanan, pelanggan, sampai tukang palak.

Office boy adalah jabatan rendah dan tidak bergengsi, tapi status jongos itu hanya sebatas jam kerja. Di luar itu, freeman. Seribu persen bebas dari beban tugas kantor. Sementara saya yang secara legal formal berstatus juragan, pemilik usaha dan dipanggil bos, malah tidak pernah benar-benar free dari urusan bisnis.

Setiap saat, ada saja kejadian yang memaksa saya menggadaikan kebebasan. Bahkan ketika salah satu karyawan saya salah kentut lantaran mules saat menjalankan tugas, lalu tanpa sengaja gas sialan yang baunya tiada tanding itu mbrojol tanpa permisi di depan hidung preman mabok, saya juga yang akhirnya kedodoran, bayar biaya perbaikan kendaraan kantor yang berantakan diamuk si preman dan ongkos rumahsakit demi menyelamatkan nyawa karyawan yang hampir oncat sehabis bancakan bogem mentah.

Paling ngenes ketika usaha saya collaps. Para jongos terima pesangon, sementara saya sendiri cuma kebagian celana kolor.

Kalau sudah begitu, apakah masih ada yang bisa bilang kalau jadi pengusaha lebih enak ketimbang pegawai?

Ada. Saya. Buktinya, saya betah jadi pengusaha. Dan pilihan ini bukan lantaran kepepet. Saya sempat mencicipi rasanya jadi pegawai. Bos orangnya baik, pengertian, gaji lumayan, kerja enak. Tapi suasana yang serba mapan dan ayem trentrem itu malah membuat saya tidak nyaman dan stress.

Selain memang ketagihan menghadapi keadaan yang serba tidak menentu, tidak ada resep khusus untuk membuat dunia usaha enak dinikmati, kecuali, barangkali, karena I did it my way – yang ini tidak bisa saya lakukan ketika masih jadi pegawai.

Bukan berarti bekerja seenak udel, tapi mengerjakan sesuatu dengan cara yang pas dan enak buat saya. Tanpa harus melanggar hukum. Hasil sedikit atau banyak, itu relatif. Maksud saya, biar cuma dapat selembar, asal nolnya banyak dan bisa dicairkan, ya gak apa-apa, ketimbang dapat segempok duit tapi angkanya cuma empat atau lima digit. Capek deeehhhhh!


PREV - YANG SERING DILUPAKAN - NEXT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar