POST TERAKHIR
10 Maret 2013
SURAT CINTA DARI KPP
Ternyata sudah
masuk bulan Maret. Hampir 3 bulan saya runtang runtung bersama Anita ........ eiiiiitttt,
see no evil dulu. Anita itu penasehat pajak saya, menggantikan konsultan lama
yang sekarang lebih sering linglung ngurus client-client pausnya.
Anita cantik. Jelas
dong. Urusan pajak sudah cukup bikin dunia sumpeg, jadi biar suasana sedikit
seger ya cari penasehat yang bening.
Maunya begitu. Realitanya
sama saja, meskipun ada Anita, hari-hari saat menyusun laporan pajak perusahaan
tetap lebih sengsara ketimbang ketemu orang sakit gigi campur demam, bisulan,
panuan, dan bokek sekaligus.
Serasa belum
lengkap derita saya, tiba-tiba sepucuk surat cinta nongol begitu saja tanpa
permisi. Kalau membaca kop suratnya “Kementrian Keuangan Republik Indonesia”
mestinya seneng dong, ada orang sono naksir saya. Tapi kalau membaca tulisan di
bawahnya “Kantor Pelayanan Pajak Pratama Yogyakarta”, nah, mulai dah jantung
deg-degan.
Memang saya tidak
merasa berbuat salah, atau minimal sengaja nyalahi aturan. Tapi apapun yang
terjadi, menerima surat dari KPP jelas bikin kaget. Terlebih setelah membaca
isinya : .... berdasar data administrasi kami, faktur pajak tersebut belum
dilaporkan ........
Saya menjadi
lebih syok lagi ketika melihat Anita cuma kethap-kethip setelah membaca surat
itu.
“Begini saja
........ Gak masalah .......”
Nah, disitu
masalahnya. Anita bilang gak asalah, tapi mesti mikir lama dulu baru bicara.
“Pak Djati tanya ke customer, darimana mereka
dapat faktur itu dan PPNnya untuk pembayaran yang mana?”
Untung customernya
cooperative. Dan yang membuat nafas saya jadi enteng, ternyata mereka tidak
pernah melaporkan faktur pajak dari rental saya – karena rental saya memang tidak
menerbitkan faktur. Mengenai nomer faktur yang disebut dalam surat cinta,
ternyata milik perusahaan lain yang kebetulan punya nama mirip. Customer saya
bahkan mengirim copy fakturnya.
Dua hari kemudian
saya menghadap AR di KPP. Semula agak senewen juga, terutama karena beberapa
teman yang pernah kejeblos pajak memberi ilustrasi agak serem, disamping
pengalaman saya sendiri belasan tahun lalu juga teramat pahit. Tapi AR yang sama
beningnya seperti Anita itu membuat perut yang mendadak mules sejak menginjak
halaman KPP seketika sembuh.
Saya disarankan
membuat konfirmasi tertulis dilampiri copy faktur. Selesai?
“Insya Allah!”
Tapi suara Anita yang biasanya enak di telinga kali ini terdengar sumbang.
Dari kabar
selentingan – soalnya kalau kabar angin saya kuatir bau kentut, ternyata banyak
wajib pajak yang mengalami nasib serupa. Beberapa “ngaku selamat”, tapi sisanya
kemudian ditetapkan menjadi PKP.
Saya belum bisa
membayangkan, apakah ditetapkan sebagai PKP itu merupakan anugerah atau musibah.
Kalau menururt ARnya, sebaiknya rental saya dikukuhkan sebagai PKP supaya bisa
lebih leluasa menerima order dari BUMN.
Cuma yang selama
ini saya alami, kebanyakan order sewa kendaraan VIP dari BUMN dibayar
menggunakan dana taktis – (nah, makanan apapula ini?). Dana semacam itu tidak
keluar dari laci bendaharawan, oleh sebab itu NPWP customer tidak boleh
dibawa-bawa.
Sebenarnya bisa saja
tetap dikenakan PPN tanpa “nyebut” NPWP customer, hanya saja pemegang duit yang
berasal dari dana taktis kebanyakan alergi pajak. Jadi kalau penyedia jasanya
ngotot mengenakan PPN, order berikutnya pasti gak bakal datang lagi.
Hampir seminggu
saya nagih, tapi sampai tulisan ini saya upload Anita belum memberi jawaban
apakah rental saya sebaiknya jadi PKP atau tidak.
“Hitungan pajak
tahunannya diselesaikan dulu. One step at the time”
Semoga memang
karena harus dikerjakan satu-satu, bukan lantaran Anita bingung.
Tapi kalaupun
anita bingung, saya tetap harus bersyukur. Itu pertanda dia serius memikirkan
masalah saya. Bukan asal main tembak memberi solusi.
Langganan:
Postingan (Atom)