Benarkah Seorang Account Representative (AR) bisa Semudah Itu Memeras Wajib Pajak ?
Tulisan ini merupakan catatan kritis atas Tayangan RCTI “Penelusuran Dugaan Praktik Ilegal di Ditjen Pajak“
Selama dua hari berturut-turut tanggal 08 dan 09 Maret 2011, RCTI berulang - ulang menayangkan liputan penelusurannya tentang dugaan praktik ilegal di Ditjen Pajak, salah satu posisi di kantor pajak yang disebut-sebut mudah dan rawan melakukan tindak korupsi adalah Account Representative (AR),sebagai salah satu kepanjangan tangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam berhubungan dengan Wajib Pajak tak ayal tayangan ini tidak saja membuat gusar pegawai DJP khususnya AR namun juga para Wajib Pajak, karena tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini orang pertama yang mereka hubungi jika berurusan dengan DJP adalah seorang Account Representative yang telah ditunjuk bagi perusahaan mereka.
Benarkah dugaan RCTI ini ? Apakah memang benar seorang AR bisa semudah itu melakukan korupsi atau memeras Wajib Pajak yang ditanganinya ?
Reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak atau yang lebih dikenal dengan istilah penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern telah melahirkan jabatan baru di kantor pajak yaitu Account Representative, dimana Account Representative ini merupakan mitra penghubung antara DJP dengan Wajib Pajak.
Setiap Account Representative mempunyai beberapa Wajib Pajak yang harus ditanganinya, dimana terhadap Wajib Pajak tersebut Account Representative berkewajiban untuk memberikan bimbingan/konsultasi dan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan kewajiban perpajakan. Jika sebelum sistem administrasi perpajakan modern seorang Wajib Pajak harus menghubungi banyak bagian di kantor pajak untuk menyelesaikan urusan perpajakannya, maka saat ini cukup menghubungiAccount Representative yang telah diberi tugas menangani Wajib Pajak tersebut.
Jika ada yang berpendapat bahwa jabatan AR adalah jabatan yang rawan untuk melakukan korupsi, maka kita harus jujur bahwa semua jabatan, apapun dan dimanapun itu pada intinya rawan korupsi apalagi jika orang yang mengemban amanah jabatan tersebut dalam tubuhnya mengalir jiwa koruptif, karena itu kita harus melihatnya secara jernih dan utuh bagaimana sebetulnya jabatan tersebut menjalankan tugas dan fungsinya pada sistem yang ada, apakah memang sistemnya dibangun dengan sedemikian rapuhnya sehingga sangat mudah bagi oknumnya untuk melakukan korupsi atau justru sebaliknya.
RCTI mensinyalir bahwa peluang korupsi yang dapat dilakukan oleh Account Representative adalah pada kewenangan yang dimilikinya untuk merekomendasikan laporan pajak yang mencurigakan, dimana jika Wajib Pajak tidak ingin laporan pajak tersebut ditindak lanjuti maka dia dapat menegosiasikannya dengan AR yang bersangkutan dan tentunya dengan sejumlah imbalan tertentu.
Kami mencoba menafsirkan bahwa mungkin yang dimaksud dengan wewenang AR untuk merekomendasikan laporan pajak yang mencurigakan adalah wewenang AR untuk mengusulkan dilakukannya pemeriksaan khusus atas SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Kewenangan ini memang merupakan bagian dari tugas seorang AR dalam rangka melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas dan tidak menyesatkan tentang AR yang dianggap rawan melakukan korupsi, berikut adalah gambaran salah satu prosedur bagaimana seorang AR menjalankan tugasnya untuk melakukan pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan.
1. Laporan Pajak (SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak ke kantor pajak akan dilakukan penelitian oleh seorang AR yang telah diberi tugas untuk menangani Wajib Pajak tersebut (sebagai catatan perlu diingat bahwa untuk SPT yang berstatus Lebih Bayar atau Wajib Pajak meminta pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak akan langsung dilakukan pemeriksaan oleh pejabat fungsional pemeriksa ).
2. Jika AR menemukan adanya dugaan ketidakbenaran dalam pelaporan SPT tersebut berdasarkan data - data yang ada di kantor pajak, maka AR harus membuat surat himbauan kepada Wajib Pajak untuk memberitahukan dan sekaligus meminta klarifikasi terhadap adanya dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan tersebut sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
3. Jika jawaban tertulis yang diterima dari Wajib Pajak atas surat himbauan tersebut bisa menjelaskan semua dugaan ketidakbenaran dalam SPT, maka SPT tersebut dianggap telah benar.
4. Namun apabila jawaban tertulis yang disampaikan Wajib Pajak dianggap belum cukup, maka tahap selanjutnya adalah dilakukan konseling yaitu sarana yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk melakukan klarifikasi terhadap data yang tecantum dalam surat himbauan secara langsung kepada petugas pajak.
5. Konseling tidak boleh dilakukan hanya oleh seorang AR, tetapi harus bersama - sama dengan atasannya yaitu Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan semuanya harus dituangkan secara tertulis dalam Berita Acara Konseling.
6. Seandainya hasil pelaksanaan konseling tersebut menunjukkan bahwa memang benar terdapat ketidakbenaran pelaporan SPT, dan Wajib Pajak mengakui hal tersebut maka kepada Wajib Pajak diberikan hak untuk melakukan pembetulan SPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan apabila Wajib Pajak telah membetulkan SPT-nya maka kasus dianggap selesai.
7. Usulan pemeriksaan baru akan direkomendasikan apabila konseling tidak berhasil mengklarifikasi ketidakbenaran pengisian SPT, namun perlu diingat bahwa sebelum usulan pemeriksaan khusus ini disampaikan kepada pimpinan, masih terdapat proses - proses yang harus dilalui.
8. Sebelum mengusulkan, AR harus terlebih dahulu membuat analisa untuk mengetahui seberapa besar materialitas ketidakbenaran SPT Wajib Pajak dan seberapa besar potensi pajak yang diharapkan dapat dihasilkan apabila dilakukan proses pemeriksaan.
9. Analisa yang dibuat oleh AR ini kemudian akan dibahas oleh Tim Asistensi yang terdiri dari dua orang kepala seksi, seorang pejabat pemeriksa, dan bersama dengan AR yang bersangkutan. Berita Acara hasil pembahasan Tim Asistensi inilah yang nantinya menghasilkan rekomendasi apakah dugaan ketidakbenaran laporan pajak (SPT) Wajib Pajak layak untuk diusulkan dilakukan pemeriksaan atau tidak.
Jadi bagaimana mungkin seorang AR akan dengan mudah menggunakan hasil temuannya berupa dugaan ketidakbenaran pelaporan pajak untuk memeras Wajib Pajak, sementara Wajib Pajak sendiri mengetahui dan paham bahwa untuk mengusulkan suatu dugaan ketidakbenaran pengisian SPT menuju proses pemeriksaan tidak bisa dilakukan ‘ujug-ujug’, prosedurnya sangat panjang, dan dalam proses tersebut Wajib Pajak memiliki hak sepenuhnya untuk diberikan bimbingan/konsultasi, didengar klarifikasinya, dan diperbolehkan membetulkan laporannya.
Sekiranya Wajib Pajak merasa bahwa laporan pajaknya telah benar maka seharusnya dia tidak gentar jika seorang AR melakukan penelitian atas kebenaran laporan pajak tersebut, kalaupun ternyata ada laporan yang memang tidak benar, maka Wajib Pajak dengan bimbingan AR dapat menggunakan haknya untuk membetulkan laporannya tersebut, sehingga tidak perlu sampai dilakukan pemeriksaan.
Jika seandainya ada oknum AR yang misalnya melakukan pemerasan kepada Wajib Pajak dengan menakut - nakuti bahwa laporan pajak yang salah ini akan direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan, maka Wajib Pajak harus menggunakan haknya untuk mendapatkan penjelasan secara resmi berupa surat himbauan, melakukan klarifikasi dalam konseling dan berhak melakukan pembetulan atas laporan yang diduga salah oleh oknum AR tersebut.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa pada intinya sebelum AR menjalankan wewenangnya untuk mengusulkan pemeriksaan khusus yang dalam kenyataannya prosedurnya tidak sesederhana dan semudah yang dibayangkan, maka sebelumnya dia harus menjalankan tugasnya untuk memberikan bimbingan/konsultasi kepada Wajib Pajak.
Semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan pemahaman yang baik kepada pers dan masyarakat agar tidak mudah ‘gebyah uyah’ menggeneralisir bahwa semua petugas pajak sama seperti Gayus, karena DJP senantiasa berusaha membangun sistem administrasi yang mampu mencegah terjadinya penyelewengan oleh petugas pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar