POST TERAKHIR
11 September 2010
BEGINILAH SAYA DULU MULAI
Beras pertama yang saya jual saya beli dari kios beras ‘Fanda” di pasar Lempuyangan. Tahunnya saya lupa, tapi saya ingat betul kali itu untuk membeli 50 Kg beras Jawa Super – kualitas paling mulus di bawah Raja Lele, saya hanya membayar Rp 18.750. Saya beli 10 karung. Total 500 Kg atau setengah ton - tapi saya lebih suka bilang setengah ton karena 500 Kg membuat saya selalu merasa kenyang.
Ini adalah kebodohan bisnis saya yang pertama. Belum tahu mau dijual kemana, sudah berani nyimpen stok begitu banyak.
Awal mulanya saya ngider dari rumah ke rumah. Pertamakali melakukan rasanya senang-senang saja, tapi hari-hari berikutnya sangat membosankan. Beras tidak selalu laku, kehujanan, kepanasan, sering digonggong anjing, dan kadang juga digoda babu. Belum lagi profitnya hanya Rp 5 per kilo. Kalau sehari laku 20 kilo, cuma dapat cepek. Kapan bisa kaya? Benar saja, sampai 7 hari kemudian baru terjual 80 kilo. Sementara sisanya mulai berbau apeg dan ada satu dua ekor kutu terlihat kelayapan di sela-sela beras.
Saya panik. Pemula memang selalu begitu. Berangkat dengan semangat menggebu, tapi langsung keder ketika yang terjadi tidak sesuai skenario. Lewat dua minggu kondisi beras semakin amburadul. Jumlahnya sedikit menyusut karena sebagian dimasak ibu – Entah apa jadinya seandainya ayah saya tahu dikasih makan nasi yang berasal dari beras lepek.
Hari ke dua puluh, dengan perasaan putus asa plus malu setengah mati, saya memberanikan diri kembali ke toko Fanda. Niat saya, semua beras yang sudah tidak layak konsumsi itu saya jual lagi sebagai beras “jatah” – istilah yang umum saat itu bagi beras yang diterima oleh pegawai negeri. Kualitasnya sedikit amit-amit, banyak kutu, dan kebanyakan sudah tidak layak konsumsi.
Nasib saya mujur, pemilik toko tidak mentertawakan saya, bahkan untuk selanjutnya bersedia membantu. Saya bisa membeli berapa saja sesuai jumlah yang saya perlukan dengan harga grosir. Sepuluh kilopun jadi. Setelah itu saya bahkan diajar cara membedakan antara beras yang bakal menjadi nasi enak dengan beras yang nasinya cepat basi.
Benar-benar awal karier yang tidak mudah dan samasekali jauh dari menyenangkan. Itupun masih ditambah harus kucing-kucigan dengan ayah yang tidak setuju saya berdagang.
Sampai sekarang saya sendiri heran, bagaimana mungkin saya bisa bertahan sampai empat tahun lebih dengan kondisi sengsara seperti itu
06 September 2010
IN THE MIDDLE OF NO WHERE
Akhir 1989 saya diajak teman membuka warung kelontong. Saya setuju. Saya senang, tapi sekaligus bingung. Saat itu saya hanya punya beras. Jumlah stoknya memang lumayan banyak, karena selain menjual eceran, saya juga menjadi grosir. Tapi, mosok buka warung cuma jualan beras?
Di pasar memang banyak warung yang hanya menjual beras. Tapi, di luar pasar, bahkan jauh dari pasar, kalau hanya jual beras, buat apa buka warung? Di urus dari rumah saja omsetnya sudah lumayan. Sementara kalau buka warung belum tentu ada peningkatan.
Tapi entah kenapa, saat itu saya nurut saja kata teman, lalu dengan dana seadanya, menyewa kios. Kios itu terletak di pinggir jalan Monumen Yogya Kembali. Lokasinya strategis, selalu ramai mulai dari pagi buta sampai tengah malam. Berada di jalur utama menuju sejumlah perumahan, dan disekitar kios itu sendiri berkembang menjadi daerah pertokoan yang sangat menguntungkan.
Tapi itu semua adalah kondisi sekarang, Tahun 2010. Tahun 89, saya bahkan bisa tidur seharian di tengah jalan tanpa terlindas apapun, karena jalan yang saat itu cuma selebar badan truk dan lebih mirip kali kering memang super sepi. Kalaupun ada yang lewat paling hanya gerobag sapi, sepeda atau kendaraan yang kesasar. Ring road di sebelah utara bahkan belum dipasang patok-patoknya, apalagi hotel Hyatt. Saking ndesonya, berada disitu serasa sudah dekat dengan puncak Merapi.
Ibu saya yang biasanya positive thinking bahkan sampai unjal ambegan – sesak nafas, melihat lokasi kios yang in the midle of no where. Secara kasat mata benar-benar hopeless.
Dan lebih hopeless lagi ketika teman saya buka kartu mengenai alasan dia memilih tempat itu: “anaknya cakep!”. Maksud teman saya, pemilik kiosnya punya anak cewek, cakep.
@%$*&!@^%?$72>!!!!!!!! …………….. Kalkulator saya langsung error.
Setelah kalkulator saya pulih, dengan semangat “terlanjur kelelep”, mau tidak mau, warung harus di buka. Sebagai pelengkap dagangan, dijual juga obat nyamuk, mie instant, sabun cuci dan sabun mandi, pasta gigi, dan rokok. Tapi lantaran modal mepet, jumlah persediaan setiap item hanya beberapa biji saja, dan selalu ludes dalam dua tiga hari.
Tapi saya tidak menyesal kesasar sampai ke situ. Insting saya terbukti benar. Walaupun sampai saat saya tutup beberapa tahun kemudian warung itu tetap menjadi single fighter di daerah itu, tidak bisa saya ingkari bahwa bisnis saya tumbuh dan berkembang dari kios berukuran 3x3 itu. Dari tempat itulah saya mendapatkan segala pengalaman bisnis yang terbaik, mulai dari ditipu, dikadali, diporoti sampai keliru jadi target buron polisi
Langganan:
Postingan (Atom)